Krisis Moneter yang berlanjut menjadi Krisis Ekonomi tahun 1997-1998 menjadi sebuah titik tolak dalam kehidupan bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang akhirnya menjadi gejolak multidimensi itu membawa perubahan besar dalam sistem berbangsa dan bernegara. Desentralisasi melalui otonomi daerah, reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, transparansi, kebebasan pers dan terakhir, Demokrasi menjadi rangkaian kebijakan yang menandai berakhirnya sebuah era, dan dimulainya era baru..era reformasi.
Khusus soal demokrasi, hal ini bukanlah barang baru dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan 1945, demokrasi telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan kita, walaupun dengan berbagai nama dan sistem mulai dari Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin hingga Demokrasi Pancasila (yang terbagi menjadi dua masa, demokrasi pancasila era orde baru dan era reformasi).
Meskipun sama-sama bertitel "Demokrasi Pancasila" terdapat perbedaan besar antara orde baru dan reformasi. Banyak sekali "batasan" dalam pelaksanaan demokrasi pancasila era orde baru oleh karenanya lebih sering disebut sebagai demokrasi perwakilan, sedangkan dalam era reformasi justru ditemukan banyak "kebebasan", sehingga disebut sebagai demokrasi langsung. Pada era reformasi mulai dilaksanakanlah pemilihan langsung baik untuk memilih anggota DPR baik pusat maupun daerah, anggota DPD, Presiden dan wapres, bahkan sampai pada pemilihan kepala daerah langsung, yang mustahil ditemukan pada era orde baru.
Demokrasi pancasila versi reformasi sekilas tampak seperti demokrasi liberal ala Amerika Serikat, negara yang ditasbihkan sebagai tanah kelahiran demokrasi, walaupun sebenarnya sistem demokrasi pertama kali dilaksanakan oleh polis di Yunani, salah satunya adalah Athena. Demokrasi di Indonesia bahkan "lebih bebas" dibandingkan dengan Amerika Serikat. Pertama dari jumlah partai politik, secara umum dunia lebih mengetahui jumlah partai politik di Amerika hanya dua, Partai Republik dan Demokrat, walaupun menurut penjelasan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Scot Marciel pada tahun 2012 (news.okezone.com), jumlah partai lain yang lebih kecil dari kedua partai itu juga banyak, karena pada konstitusi Amerika tidak disebutkan jumlah partai peserta pemilu, tapi secara tradisi hanya dua partai yang menguasai pemilu Amerika. Di Indonesia? saya ingat bahwa ada 48 partai peserta pemilu pertama setelah kejatuhan orde baru!!! Memang selanjutnya sampai pemilu terakhir tahun 2014 jumlah partai peserta pemilu menyusut hingga tinggal 12 partai saja, tetap saja jumlah ini lebih spektakuler dibandingkang dengan Amerika Serikat. Bahkan jika dilihat secara tradisi sebagaimana Amerika yang dikuasai dua partai saja, di Indonesia ada sekitar 10 partai yang menguasai parlemen!!!
Hal ini belum termasuk "pesta demokrasi" lain dengan skala lebih kecil dan bersifat regional, seperti pilkada provinsi atau kabupaten, atau bahkan pilkades yang secara tradisional tetap ada pada era orde baru. Pesta Demokrasi di Indonesia bisa dipastikan jauh lebih meriah, lebih semarak, lebih penuh intrik dan drama (bahkan mungkin lebih banyak menghabiskan dana) dibandingkan dengan pesta demokrasi dimanapun di dunia.
Semaraknya pesta demokrasi ini sudah seharusnya berkorelasi secara positif terhadap kualitas pejabat publik dan kinerja pemerintahan di Indonesia. Faktanya, sampai tahun 2014 temuan-temuan yang didapat ICW antara lain bahwa total kasus korupsi
yang terjadi di Indonesia sebanyak 629 kasus dengan jumlah tersangka
mencapai 1328 orang dan menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan
mencapai Rp5,29 triliun (obsessionnews.com). Untuk tingkat kepala daerah, Sepanjang 2004 hingga 2012, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi, ini belum termasuk para wakil rakyat yang proses pemilihannya dilakukan melalui pemilu. Lantas, apa yang salah?
Tentang demokrasi, Hans Kelsen mengatakan, Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang
melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih.
Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan
diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara. Dari definisi ini dapat ditarik sebuah benang merah, bahwa kegagalan pelaksanaan demokrasi yang diindikasikan melalui banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh mereka yang dipilih oleh rakyat, bukanlah seratus persen kesalahan dari para kepala daerah dan wakil rakyat yang tersangkut kasus korupsi. Saya ingat perkataan Bapak Abdullah Hehamahua yang sempat diterbitkan di salah satu harian nasional terbesar di negeri ini, "Kalau Hulu nya baik maka hilirnya pasti baik, sedangkan kalau hulu nya buruk, jangan harap hilirnya akan baik" (kurang lebih seperti itu). Jadi "masalah" terbesar adalah pada para pemilih, karena merekalah yang berperan dalam menjadikan para pejabat yang korup menduduki jabatannya. Oke, menurut survey partai politik adalah salah satu lembaga terkorup di negeri ini, tetapi "hakim" yang tepat untuk parpol adalah masyarakat. Kalau masyarakat kita lebih kritis dan tidak lagi melihat figur atau fanatik terhadap parpol, maka parpol dijamin pasti akan berubah.
Saya tidak mengatakan bahwa masyarakat kita bobrok, masyarakat kita hanya perlu mendapat pencerahan dan pendidikan yang benar. Kita tidak perlu mengatakan bahwa pendidikan politik masyarakat kita perlu ditingkatkan, yang kita butuhkan hanyalah "pendidikan", tanpa "politik". Dengan kapasitas pendidikan yang tinggi, secara otomatis masyarakat kita akan terdidik secara politik.
Jika menengok sejarah awal mula munculnya demokrasi yang terjadi di polis Athena, kita bisa menarik sebuah konklusi. Athena adalah polis yang dikenal dengan kualitas peradaban dan intelektual masyarakatnya yang tinggi. Berbeda dengan polis Sparta yang terkenal dengan kekuatan militernya, Athena adalah penghasil filsuf dan intelektual terkenal macam Plato dan Aristoteles. Sehingga secara tradisi, Athena adalah gudangnya masyarakat intelek. Sehingga wajar sistem demokrasi adalah sistem yang mampu berkembang dengan sangat baik di Athena.
Sementara itu, negara kita, Indonesia masih berupaya terus mengejar ketertinggalan dari negara lain dalam bidang pendidikan. Pola pikir masyarakat yang lebih konsumtif, juga menyebabkan masyarakat lebih serius mengejar materi dibandingkan edukasi. Kalaupun mereka menempuh pendidikan, motivasi utamanya hampir dapat dipastikan pasti demi meraih pendapatan atau peningkatan kesejahteraan setelah lulus. Kondisi ini berdampak luas, kalaupun diadakan penelitian, mungkin bisa ditemukan bahwa tingkat korelasi antara pendidikan formal dan intelektual seseorang akan mengalami penurunan. Kondisi ini bahkan sering saya temui di lingkungan aktivitas saya sehari-hari. Seorang alumni magister misalnya, bisa menjawab sebuah pertanyaan dengan rangkaian kata dan kalimat yang menawan, sampai-sampai dia tidak sadar bahwa jawabannya itu tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh si penanya. Belum lagi ada seseorang dengan tingkat pendidikan formal yang sama dengan orang tersebut, yang bahkan tidak bisa membedakan antara kata "mengacu", "berpedoman" dengan "copy paste", padahal jelas ketiga kata tersebut memiliki perbedaan makna. Keadaan ini sedikit menunjukkan menurunnya tingkat korelasi antara kualitas intelektual dengan tingkat pendidikan formal, yang saya yakini sebagai akibat "salah niat" dalam menempuh pendidikan.
Kembali pada keterkaitan antara demokrasi dan edukasi, tingginya tingkat edukasi secara otomatis akan membuat para pemegang hak pilih tidak lagi asal pilih. Pilihan mereka pasti tidak lagi didasarkan ketertarikan figur, tapi atas kualitas dan kapabilitas, serta ketulusan dalam membangun negeri. Sifat kritis yang menjadi salah satu ciri tingkat intelektualitas seseorang bisa dengan mudah tumbuh, idealisme yang belakangan sudah mulai terkikis di masyarakat kita bisa terbit kembali. Seorang individu yang mencalonkan diri sebagai pejabat atau wakil rakyat tidak lagi hanya bisa mengandalkan kemampuannya dalam mengumpulkan massa. Kita tentu tidak bisa membayangkan tenntunya, jika seorang terpilih menjadi kepala daerah karena faktor "pertemanan". Bisa jadi kelak seorang bos "gangster" yang memiliki ribuan anggota akan memenangkan pemilu, jika pendidikan rakyat kita tidak pada ambang batas yang seharusnya.
Secercah harapan sempat muncul ketika melihat fenomena golput yang selalu meningkat setiap diadakannya pemilihan umum, baik pileg, pilpres ataupun pilkada. Hal ini merupakan tanda kemunculan sikap "penolakan" terhadap kapabilitas dan kualitas peserta pemilu. Akan tetapi fenomena ini tidak bisa terus dipelihara. Kita tidak bisa melakukan perubahan dengan hanya bersikap apatis. "Revolusi Mental" yang sebenar-benar revolusi mutlak diperlukan. Perubahan ke arah yang lebih baik harus tetap diusahakan. Demokrasi mutlak ada, setelah edukasi menunjukkan kinerjanya. Selama edukasi bangsa ini masih dianggap sesuatu yang remeh temeh, sebuah penunjang menuju kesejahteraan ekonomi, jangan pernah berharap "Athena"akan terlahir di Indonesia. Kita tidak akan pernah jadi bangsa yang maju, baik secara sosial, politik ataupun ekonomi, jika edukasi, pendidikan kita tidak pernah maju. Kalaupun sekarang kita menerapkan demokrasi dalam sistem politik negara kita, biarlah ini juga menjadi edukasi politik bagi bangsa kita, sebuah edukasi yang tidak boleh menjadi sebuah pembelajaran tanpa henti. Harus tiba saatnya kita bukan lagi menjadi "pelajar" demokrasi, tetapi menjadi "sarjana" demokrasi.
Monday 21 December 2015
Tuesday 8 December 2015
The Majesty
In Court, we called the judge with respectful mention : The Majesty. Why? cause the judge is a person who authorized to execute half of God's authority. He given the right to punish or excuse. Then, person with that authority, he really become honored person, and because of that he worthy of respected.
In our live we often enriched by the story about the fair judges in taking decision, but full of mercy to them who persecuted and talk about the truth. One of it is classical story about Judge Bao.
His full name is Bao Zheng, He lived on Song's Dinasty era an because of his honesty, he got a nickname Bao Qingtan or Bao the blue sky.
But, Bao not only honest. He was a brave. One day Judge Bao given the death penalty for King's law. His decision got hard refusal from the queen and of course, her cronies. Bao was condemned by them. But, Bao insist with his decision. " The King's family and the people have a same place under the law. So they must submit on the nation's law." said Bao.
The consequences he was wounded by intimidation. If now here, probably he was be called by the special commitee. But he encounter all of the treat. The King's law still executed.
I'm proud that we ever have some honored judges, like Bismar Siregar and Yahya Harahap, that their decision really create sense of justice. Also Benyamin Mangkudilaga who brave rejected the bribe.
Bribe and temptation
We certain want to have the judges like Judge Bao, Bismar, Yahya or Benyamin. Not only judge, but also ministry, members of the house of representative, teacher, lecturer, reporter, CEO, businessman and another enforcement agencies of truth.
Brave, fair, firm and full of mercy for the weak and suppressed. Not fear with intimidation, lost everything, especially just the chair, resist the temptation and can't be bribe. Talk about temptation and bribe, my hair creeps suddenly when we called the word "The Majesty" on our judges lately. Cause, recently a judge of National Administration Court on West Sumatra Province arrested when he was taking drug with a police from that local police department. On Bengkulu province, a judge also be arrested caused proven taking drug. Even in sibolga, North Sumatra Province, a judge arrested by people when he was taking drug with his illegal girlfriend. What a mad!! Then and unless mad again, still on North Sumatra, a drug user, lets called him Ucok, be a judge to arbitrate a drug case too. The case of Judge Ucok is very complicated. He was received drug from the convict who the case was under his decision. Ucok is not only know, he was owe to that convict. That convict was save ucok from the people's angry cause people took ucok alone together with a woman who not his wife in his official residence.
Recently still crowded on news about a judge who was accepted bribe from a famous lawyer. It's so complicated cause many official suspected of being involved.
Are you willing to called The Majesy to ucok and the judges who was accepted something to making decision in our case? Once again, are you willing called that judges "The Majesty"?
Jokes
But apparently that is not low enough. The word "Majesty" really get on lowest point. Why? I was heard it accidentally. One of the radio station in Jakarta, have a regular program that accomodate the people's opinion. That day topic was assembly of the Court Of Council Honor that was occured on two days, wednesday and thursday (2nd-3rd Dec, 2015). During that program, the listener called the presenter "The Majesty" with a pleasured. Otherwise, the presenter also called the people who was submitted their opinion by title "The Majesty". The tone, you certain know, full of jokes. I was laughed to hear it, but also concerned.
If the annoyed is very high, but so powerless, our people became powerfull to making jokes. But i believes it's just temporary, finally they will be do something very great if they still silence of that.
The other popular expression is meme (read, mim). Try to click, you will easily to found meme contain the jokes about the assembly of the Court of Council Honor. I guarantee, minimally you will be smiles by yourself.
Although smile, my heart was so pour. We should use the word "The Majesty" to express sense of respect for someone, no used to express the otherwise. A foolish figure, disgusting, shame, and "two-bit" showing their stupidity is really not worthy to get honor with the called "The Majesty".
More shame again, they wear red and white tuxedo. I do not willing that the colors of our flag wearing by that persons.
I hope what was showed by the "Majesty" on assembly of The Court of Council Honor not made us skeptic and finally look down on the judge. Cause still a lotof judges who still good and worth to bear the word "Majesty"
But i'm sorry, not who talk nonsense in this assembly. Not wrong of the "Majesty" name, but they was not worth to get this called.
Author : Rhenald Khasali, published on Jawa Pos, 8th December, 2015.
translate on english by : Alfian Rosiadi
Monday 7 December 2015
Sehebat-hebatnya Head Coach, Dia "Hanya" Berada di Luar Lapangan
Siapa yang tak kenal dengan The Special One Jose Mourinho? siapa juga yang meragukan kejeniusan Don Carletto Carlo Ancelotti? Di tataran tim nasional negara "kelas dua"populer nama Bora Milutinovic dimana di bawah asuhannya tim nasional China berhasil lolos ke Piala Dunia 2002. Selain itu ada pula nama Fabio Capello, Sir Alex Ferguson, Arsene Wenger, Rafael Benitez, Vicente Del Bosque, Marcello Lippi, Jurgen Klopp, Joachim Loew dan banyak lagi individu yang dikenal karena kehebatannya sebagai pelatih sepakbola atau Head Coach.
Beberapa Head Coach terbaik di dunia juga dikenal dengan kepiawaiannya sebagai pemain sepakbola di masa mudanya, meskipun sebagian lainnya tidak memiliki prestasi mencolok saat masih berkarir di lapangan hijau. Karena status sebagai pemain terbaik tidak menjamin seseorang juga akan mendapat label yang sama saat beralih profesi menjadi seorang Head Coach. Head Coach dan player adalah dua hal yang sangat jelas berbeda.
Head Coach adalah seorang perencana, juru taktik, ahli strategi yang akan menentukan arah permainan dari sebuah tim. Dari kepalanya-lah tersusun berjuta-juta skenario dalam suatu pertandingan sepakbola.Tanpa seorang Head Coach yang handal mungkin tak pernah tercipta total football, cattenaccio, kick 'n rush, tiki-taka ataupun text book ala Der Panzer. Seorang Lionel Messi ataupun Cristiano Ronaldo mungkin juga tak akan sehebat sekarang jika tidak pernah dilatih oleh pelatih-pelatih hebat dalam sepanjang perjalanan karir mereka. Head Coach adalah kunci dalam sepakbola. Tanpanya sepakbola mungkin hanya sekedar permainan anak-anak. Tidak lebih.
Akan tetapi sebesar apapun peran seorang head coach, dia tetap hanya akan berada di luar lapangan, selamanya. Bahkan dalam rules of the game, peran dan lokasi seorang head coach dibatasi dalam sebuah area teknik di tepi lapangan. Tanpa perlu masuk lapangan pertandingan, head coach bisa saja langsung diusir wasit jika ia berada di luar technical area tersebut. Sehebat dan sepintar apapun head coach tetap saja dia tidak memiliki license untuk masuk ke dalam lapangan. Dia tetap harus menjadi figur di balik layar dan di tepi lapangan.
Beberapa Head Coach terbaik di dunia juga dikenal dengan kepiawaiannya sebagai pemain sepakbola di masa mudanya, meskipun sebagian lainnya tidak memiliki prestasi mencolok saat masih berkarir di lapangan hijau. Karena status sebagai pemain terbaik tidak menjamin seseorang juga akan mendapat label yang sama saat beralih profesi menjadi seorang Head Coach. Head Coach dan player adalah dua hal yang sangat jelas berbeda.
Head Coach adalah seorang perencana, juru taktik, ahli strategi yang akan menentukan arah permainan dari sebuah tim. Dari kepalanya-lah tersusun berjuta-juta skenario dalam suatu pertandingan sepakbola.Tanpa seorang Head Coach yang handal mungkin tak pernah tercipta total football, cattenaccio, kick 'n rush, tiki-taka ataupun text book ala Der Panzer. Seorang Lionel Messi ataupun Cristiano Ronaldo mungkin juga tak akan sehebat sekarang jika tidak pernah dilatih oleh pelatih-pelatih hebat dalam sepanjang perjalanan karir mereka. Head Coach adalah kunci dalam sepakbola. Tanpanya sepakbola mungkin hanya sekedar permainan anak-anak. Tidak lebih.
Akan tetapi sebesar apapun peran seorang head coach, dia tetap hanya akan berada di luar lapangan, selamanya. Bahkan dalam rules of the game, peran dan lokasi seorang head coach dibatasi dalam sebuah area teknik di tepi lapangan. Tanpa perlu masuk lapangan pertandingan, head coach bisa saja langsung diusir wasit jika ia berada di luar technical area tersebut. Sehebat dan sepintar apapun head coach tetap saja dia tidak memiliki license untuk masuk ke dalam lapangan. Dia tetap harus menjadi figur di balik layar dan di tepi lapangan.
Sunday 27 September 2015
Tiket Online Bus Antarkota, mungkinkah?
Sidoarjo - Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan melakukan
sidak di Terminal Bungurasih Sidoarjo. Menhub minta agar kondisi
terminal terbesar di Jatim ini dibenahi.
Saat datang pukul 08.00 WIB, Jumat (26/6/2015), Menhub melihat secara langsung belasan sopir bus melakukan tes Urine di depan kantor Pengaturan perjalanan Bus antar kota.
Di Bungurasih, Jonan melihat secara langsung pembangunan beberapa bagian terminal yang belum selesai, yakni ruang tunggu penumpang yang berada di lantai 2. Menhub minta agar pembangunan segera diselesaikan agar arus menumpang bisa tertata lebih baik.
"Terminal Bungurasih ini untuk segera diselesaikan dan untuk dirapikan, harus ada target bahwa terminal ini agar secepatnya lebih baik. Masak kalah dengan stasiun kereta api," ujar Menhub Jonan.
Jonan berharap, paling lambat 2016 kondisi Terminal Bungurasih sudah rapi, dan ruang tunggu penumpang juga tertata dengan baik. "Kalau perlu tiketnya itu menggunakan sistem online, agar penumpang disini sudah mendapatkan tiket, tinggal naik bus saja," ujar Jonan.
Jonan menambahkan, menjelang lebaran pihaknya tengah fokus terhadap Kelaikan, armada, keselamatan dan volume penumpang. "Dishub akan meningkatkan pelayanan ke pada masyarakat, dan keselamatan pada masyaraakat yang akan menggunakan jasa tranpotasi darat, laut, udara," jelasnya.
dikutip dari http://news.detik.com/berita-jawa-timur/2953043/sidak-terminal-bungurasih-menhub-jonan-minta-kondisi-terminal-dibenahi
Potongan berita di atas memang sudah agak lama, diterbitkan bulan juni dalam rangka persiapan pelaksanaan arus mudik dan balik tahun 2015. Akan tetapi ada hal yang menarik perhatian saya dan terus menggelayuti pikiran saya sepanjang hari, hahahahaha... Pada tulisan kali ini saya hanya akan membahas tentang statement menteri perhubungan terkait dengan tiket online bus antar kota (lihat tulisan yang dicetak tebal dan digaris bawah pada potongan berita di atas).
Seperti kita ketahui, selama ini tiket bus antar kota baik dalam maupun antar propinsi selalu diberikan melalui proses manual. Ada yang diberikan langsung oleh kondektur di atas bus, ada juga yang melalui agen yang telah ditunjuk atau bekerjasama dengan PO yang bersangkutan. Memang jelas berbeda dengan yang ada di moda transportasi kereta api, dimana tiket selalu diperoleh calon penumpang terlebih dahulu sebelum menggunakan jasa pengangkutannya. Pada bus antar kota hal ini kadang membuat penumpang baru mengetahui tarif bus bersangkutan setelah naik, ini mejadikan peluang terjadinya kecurangan dan kenakalan oknum kru dalam mempermainkan tarif. Memang pada PO yang bonafide, dipasang pula stiker tarif bus sesuai jurusan pada bagian dalam bus. Tetapi banyak juga PO yang belum melakukan hal ini, bahkan ada beberapa PO yang tidak memberikan tiket kepada penumpangnya. Jika melihat kondisi ini, saya pikir arahan Menteri Jonan terkait tiket online sangat wajar dan mendesak untuk segera dilaksanakan. Apalagi jika melihat bagaimana sistem perbaikan ticketing pada PT. KAI berhasil dieksekusi dengan sempurna. Akan tetapi perlu dilihat latar belakang yang menjadi sebab terjadinya kesemrawutan mengenai prosedur pembayaran jasa transportasi bus a.k.a tiket.
Bus antarkota, memang tidak sama dengan kereta api. Bus antarkota utamanya kelas ekonomi dan sebagian patas, menaikkan dan menurunkan penumpangnya dimanapun selama itu dilalui dalam rute perjalanan bus bersangkutan. Untuk calon penumpang yang tinggal jauh dari terminal tapi dekat dengan jalur yang dilalui bus antar kota, kondisi ini jelas menguntungkan. Berbeda dengan kereta api, meskipun anda tinggal di tepi rel kereta api sekalipun, kalau ingin menggunakan jasa kereta api anda harus pergi ke stasiun terdekat, tidak mungkin anda menghentikan kereta api di depan rumah anda, kecuali rumah anda adalah stasiun kereta api, hahahaha... Belum lagi jumlah terminal bus antarkota yang jauh lebih sedikit daripada jumlah stasiun KA (jika dihitung kedua moda memiliki asal dan destinasi yang sama, contoh : silahkan dihitung jumlah terminal yang dilewati bus jurusan tulungagung-surabaya dan jumlah stasiun yang dilalui oleh KA dengan jurusan yang sama). Hal inilah yang membuat saya membuat hipotesis pribadi bahwa penerapan ticket online pada bus tidak semudah pada KA, belum lagi fakta bahwa operator KA masih dimonopoli oleh satu BUMN yang jelas berbeda jauh dengan bus antarkota yang 99% operatornya berasal dari pihak swasta. Mungkin kita bisa menjadikan busway sebagai referensi penerapan ticketing pada bus antar kota, tapi busway adalah moda yang dirancang dari nol, bukan melakukan rehabilitasi pada moda lama yang mengalami kesemrawutan. Kalau dipaksakan, bisa anda bayangkan bagaimana mengatur perjalanan bus dalam satu jalur busway ruas Surabaya-Kertosono.
Kendalanya? belum semua PO mempunyai agen yang merupakan kantor perwakilan resmi. Kecuali PO Rosalia Indah (cat : yang saya tau) kebanyakan adalah agen komisi yang memperoleh keuntungan dari persentase nilai penjualan tiket dan atau jumlah tiket yang dijual. Kenapa harus perwakilan resmi? karena ticketing online membutuhkan sarana prasarana yang tidak murah. Sebagian besar agen bus hanya bermodalkan meja, kursi dan alat tulis. Tidak ada sistem komputerisasi seperti agen penjualan tiket pesawat terbang atau kereta api. Dengan perwakilan resmi perusahaan bisa menginvestasikan asetnya dengan lancar, karena saya yakin PO pasti akan berfikir ulang untuk menyerahkan seperangkat media online untuk keperluan penjualan tiket kepada agen-agen komisi.
Dengan segala kondisi, permasalahan, keuntungan dan kendala yang ada, penerapan ticketing online pada bus antar kota mungkin akan cukup membantu permasalahan yang dialami oleh penumpang, operator maupun aparat pemerintah. Tetapi perlu kajian teknis dan studi lapangan yang cermat dan teliti sebelum diterapkan. Pengaplikasian yang tergesa-gesa dan cenderung dipaksakan akan berdampak buruk bagi moda transportasi bus antar kota dan para pengguna jasanya. Operator dan pengelola prasarana moda transportasi bus antar kota memang tidak boleh kalah dengan Kereta Api, tetapi perlu diingat, bus bukanlah kereta api, dan untuk sesuatu yang berbeda perlu ditemukan aplikasi yang berbeda pula meski dalam tujuan yang sama demi kemajuan transportasi indonesia.
Saat datang pukul 08.00 WIB, Jumat (26/6/2015), Menhub melihat secara langsung belasan sopir bus melakukan tes Urine di depan kantor Pengaturan perjalanan Bus antar kota.
Di Bungurasih, Jonan melihat secara langsung pembangunan beberapa bagian terminal yang belum selesai, yakni ruang tunggu penumpang yang berada di lantai 2. Menhub minta agar pembangunan segera diselesaikan agar arus menumpang bisa tertata lebih baik.
"Terminal Bungurasih ini untuk segera diselesaikan dan untuk dirapikan, harus ada target bahwa terminal ini agar secepatnya lebih baik. Masak kalah dengan stasiun kereta api," ujar Menhub Jonan.
Jonan berharap, paling lambat 2016 kondisi Terminal Bungurasih sudah rapi, dan ruang tunggu penumpang juga tertata dengan baik. "Kalau perlu tiketnya itu menggunakan sistem online, agar penumpang disini sudah mendapatkan tiket, tinggal naik bus saja," ujar Jonan.
Jonan menambahkan, menjelang lebaran pihaknya tengah fokus terhadap Kelaikan, armada, keselamatan dan volume penumpang. "Dishub akan meningkatkan pelayanan ke pada masyarakat, dan keselamatan pada masyaraakat yang akan menggunakan jasa tranpotasi darat, laut, udara," jelasnya.
dikutip dari http://news.detik.com/berita-jawa-timur/2953043/sidak-terminal-bungurasih-menhub-jonan-minta-kondisi-terminal-dibenahi
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, sumber : vivanews.com
Potongan berita di atas memang sudah agak lama, diterbitkan bulan juni dalam rangka persiapan pelaksanaan arus mudik dan balik tahun 2015. Akan tetapi ada hal yang menarik perhatian saya dan terus menggelayuti pikiran saya sepanjang hari, hahahahaha... Pada tulisan kali ini saya hanya akan membahas tentang statement menteri perhubungan terkait dengan tiket online bus antar kota (lihat tulisan yang dicetak tebal dan digaris bawah pada potongan berita di atas).
Seperti kita ketahui, selama ini tiket bus antar kota baik dalam maupun antar propinsi selalu diberikan melalui proses manual. Ada yang diberikan langsung oleh kondektur di atas bus, ada juga yang melalui agen yang telah ditunjuk atau bekerjasama dengan PO yang bersangkutan. Memang jelas berbeda dengan yang ada di moda transportasi kereta api, dimana tiket selalu diperoleh calon penumpang terlebih dahulu sebelum menggunakan jasa pengangkutannya. Pada bus antar kota hal ini kadang membuat penumpang baru mengetahui tarif bus bersangkutan setelah naik, ini mejadikan peluang terjadinya kecurangan dan kenakalan oknum kru dalam mempermainkan tarif. Memang pada PO yang bonafide, dipasang pula stiker tarif bus sesuai jurusan pada bagian dalam bus. Tetapi banyak juga PO yang belum melakukan hal ini, bahkan ada beberapa PO yang tidak memberikan tiket kepada penumpangnya. Jika melihat kondisi ini, saya pikir arahan Menteri Jonan terkait tiket online sangat wajar dan mendesak untuk segera dilaksanakan. Apalagi jika melihat bagaimana sistem perbaikan ticketing pada PT. KAI berhasil dieksekusi dengan sempurna. Akan tetapi perlu dilihat latar belakang yang menjadi sebab terjadinya kesemrawutan mengenai prosedur pembayaran jasa transportasi bus a.k.a tiket.
karcis bus antar kota, sumber : setia1heri.wordpress.com
Bus antarkota, memang tidak sama dengan kereta api. Bus antarkota utamanya kelas ekonomi dan sebagian patas, menaikkan dan menurunkan penumpangnya dimanapun selama itu dilalui dalam rute perjalanan bus bersangkutan. Untuk calon penumpang yang tinggal jauh dari terminal tapi dekat dengan jalur yang dilalui bus antar kota, kondisi ini jelas menguntungkan. Berbeda dengan kereta api, meskipun anda tinggal di tepi rel kereta api sekalipun, kalau ingin menggunakan jasa kereta api anda harus pergi ke stasiun terdekat, tidak mungkin anda menghentikan kereta api di depan rumah anda, kecuali rumah anda adalah stasiun kereta api, hahahaha... Belum lagi jumlah terminal bus antarkota yang jauh lebih sedikit daripada jumlah stasiun KA (jika dihitung kedua moda memiliki asal dan destinasi yang sama, contoh : silahkan dihitung jumlah terminal yang dilewati bus jurusan tulungagung-surabaya dan jumlah stasiun yang dilalui oleh KA dengan jurusan yang sama). Hal inilah yang membuat saya membuat hipotesis pribadi bahwa penerapan ticket online pada bus tidak semudah pada KA, belum lagi fakta bahwa operator KA masih dimonopoli oleh satu BUMN yang jelas berbeda jauh dengan bus antarkota yang 99% operatornya berasal dari pihak swasta. Mungkin kita bisa menjadikan busway sebagai referensi penerapan ticketing pada bus antar kota, tapi busway adalah moda yang dirancang dari nol, bukan melakukan rehabilitasi pada moda lama yang mengalami kesemrawutan. Kalau dipaksakan, bisa anda bayangkan bagaimana mengatur perjalanan bus dalam satu jalur busway ruas Surabaya-Kertosono.
tiket KA Online, sumber : muhdhito.me
Melalui tulisan ini saya bukan sedang memposisikan sebagai seorang yang anti-Jonan atau bersikap menolak ide ticketing online secara absolut (secara pribadi saya adalah seseorang yang kagum dengan sosok Jonan, yang menurut saya adalah direktur KAI terhebat sepanjang sejarah perkeretapian Indonesia setelah kemerdekaan) . Ticket online bisa diterapkan pada bus antar kota, menurut saya pribadi, tapi secara terbatas. Yaitu terbatas pada bus antarkota antar propinsi non ekonomi atau Bus Malam. Kenapa bus malam? karena secara sistem bus malam sangat mirip dengan kereta api yang telah sukses melaksanakan ticketing online. Bus malam biasanya hanya menaikkan penumpang di agen-agen yang telah ditunjuk, sangat mirip kereta api yang hanya berhenti di stasiun saja. Bahkan bus malam punya nilai plus karena bisa menurunkan penumpang di tempat-tempat terdekat dengan tujuan penumpang sejauh diperkenankan oleh aturan. Bahkan penerapan ticketing online pada bus malam saya yakini mampu menekan secara maksimal jumlah penumpang gelap alias sarkawi. Kebocoran keuntungan yang dialami oleh perusahaan akan terkikis dalam jumlah yang signifikan. Load factor bus malam pun bisa terisi secara optimal, apabila sebelumnya menggunakan sistem jatah kursi untuk setiap agen, dengan sistem online dapat diset up kebutuhan kursi dan armada pada setaip hari operasional bus.
agen bus malam, sumber : tribunnews.com
Kendalanya? belum semua PO mempunyai agen yang merupakan kantor perwakilan resmi. Kecuali PO Rosalia Indah (cat : yang saya tau) kebanyakan adalah agen komisi yang memperoleh keuntungan dari persentase nilai penjualan tiket dan atau jumlah tiket yang dijual. Kenapa harus perwakilan resmi? karena ticketing online membutuhkan sarana prasarana yang tidak murah. Sebagian besar agen bus hanya bermodalkan meja, kursi dan alat tulis. Tidak ada sistem komputerisasi seperti agen penjualan tiket pesawat terbang atau kereta api. Dengan perwakilan resmi perusahaan bisa menginvestasikan asetnya dengan lancar, karena saya yakin PO pasti akan berfikir ulang untuk menyerahkan seperangkat media online untuk keperluan penjualan tiket kepada agen-agen komisi.
Bus Malam, sumber :teguhalkhawarizmi.wordpress.com
Saturday 26 September 2015
Mbok Nggak Usah......
Membaca Tulisan Kiai..eh budayawan yang satu ini emang menginspirasi...segala macam kritik dan pemikiran terhadap praktek dogmatik dan kondisi sosial masyarakat, mau tidak mau akan membawa kita kepada pemikiran yang berbeda, yang anti mainstream gituuu... hehehehe Seperti Tulisan beliau yang satu ini, yang saya kutip dari laman facebook berjudul "Mbok Nggak Usah Ada Neraka". Berikut isi lengkap tulisannya :
Setiap calon santri di padepokan Sang Sunan, di test dulu bagaimana ia membaca kalimat syahadat. Dan Saridin memiliki lafal dan caranya sendiri dalam bersyahadat. Suatu cara yang Gus Dur saja pasti tidak berani melakukannya, minimal karena badan Gus Dur terlalu subur — sementara Saridin adalah lelaki yang atletis dan seorang pendekar silat yang mumpuni.
Tapi sebelum hal itu diceritakan, karena Saridin khawatir Anda kaget lantas darah tinggi Anda kambuh, maka harus diterangkan dulu beberapa hal mendasar yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan humor.
Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah maupun perlahan-lahan secara rasional memutuskan untuk melihat dan memperlakukan kehidupan ini sebagai sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh — namun ia menjalaninya dengan urat saraf yang santai dan dengan kesiapan humor yang setinggi-tingginya.
Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk hatinya, Saridin yakin bahwa Tuhan sendiri sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh humor….
Memang belum tentu benar, belum tentu baik dan arif, untuk menyebut bahwa Tuhan itu Maha (Peng- atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan watakNya, tidak terdapat nama Maha Humor. Tapi kalau misalnya di satu pihak Tuhan itu Maha Penyayang dan di lain pihak Ia Maha Penyiksa, atau di satu sisi Ia Maha Pengasih dan di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau di satu dimensi Ia Maha Penabur Rejeki tapi sekaligus pada dimensi lain Ia Maha Penahan Rejeki — terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu suatu jenis humor. Paling tidak supaya kepala kita tidak pusing.
Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan mengasihi atau menyiksa hamba-hambaNya menurut konteks dan posisi nilai yang memang relevan untuk itu. Tuhan mungkin mengasihi siapa saja meskipun mereka mbalelo kepadaNya: Tuhan tetap memelihara napas para maling, Tuhan tidak menyembunyikan matahari dari para perampok, Tuhan tidak menghapus ilmu dari otak para koruptor.
Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang patuh kepadaNya. Tuhan tidak mungkin menghukum orang yang tak punya kesalahan kepadaNya. Kalau Tuhan menahan rejeki orang yang taat kepadaNya, maka penahanan rejeki itu mungkin merupakan suatu jenis rejeki tertentu yang merupakan metoda agar orang tersebut menghayatinya dan memperoleh nilai yang lebih tinggi. Atau kalau seseorang yang baik kepada Tuhan tapi lantas diberi kemiskinan atau penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu di antara tiga kemungkinan.
Pertama, itu teguran. Alhamdulillah dong kalau Tuhan berkenan mengkritik kita. Itu artinya kita punya kans untuk menjadi lebih baik. Kedua, itu ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang yang disediakan kenaikan pangkat saja yang boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman. Ini lebih alhamdulillah lagi, karena manusia selalu membutuhkan pembersihan diri, memerlukan proses pensucian dan kelahiran kembali.
Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata pandang manusia, ide-ide penciptaan yang Ia paparkan pada alam semesta dan kehidupan, banyak sekali mengandung hal-hal yang kita rasakan sebagai “humor”.
Bukan hanya ketika kita melihat perilaku monyet, umpamanya — yang membuat Saridin berpikir: “Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang maha pencipta humor, atau sekurang-kurangnya pencipta monyet adalah Entertainer Agung bagi jiwa dahaga manusia….”
Soalnya kelakuan monyet ‘kan mirip-mirip Anda….
Juga Anda mengalami sendiri betapa banyaknya hal-hal yang lucu di muka bumi ini, bahkan juga mungkin di luar bumi. Saridin sendiri amat sering tertawa riang atau tertawa kecut kalau melihat atau mengalami kehendak-kehendak Tuhan tertentu. Umpamanya tatkala Adam tinggal di sorga, Tuhan sengaja bikin pohon Khuldi, tapi dilarangnya Adam menyentuh. Tapi pada saat yang sama, Ia ciptakan Iblis untuk menggoda agar Adam melanggar larangan itu — dan akhirnya terjadi benar.
Sehingga beliau beserta istri terlempar ke muka bumi, dan kita semua terpaksa menjumpai diri kita juga tidak lagi di sorga, melainkan di bumi.
Itupun bumi yang sudah dikapling-kapling oleh konsep adanya negara. Oleh adanya organisasi pemerintahan yang kerjanya memerintah dan melarang seperti Tuhan. Kalau Tuhan sih memang berhak seratus persen memerintah dan melarang karena memang Ia yang menciptakan kita dan semua alam ini, serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin hidup manusia.
Tapi pemerintah ‘kan nyuruh kita cari makan sendiri-sendiri. Kalau kita kelaparan atau dikubur hutang, kita tidak bisa mengeluh kepada pemerintah.
Hubungan kita dengan pemerintah hanya bahwa kita sebuah berada di bawah kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan lantas mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu. Semakin banyak di antara kita yang mati, secara tidak langsung program KB akan semakin sukses.
Soal ini memang tergolong paling lucu di dunia. Kalau di negara sosialis dulu, rakyat dijamin kesejahteraannya meskipun minimal, namun sama rata sama rasa — dengan catatan tidak boleh mbacot, tidak boleh membantah, alias tidak ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis, setiap orang memiliki hak bicara, hak ngumpul dan berserikat — tapi dengan syarat harus cari makan sendiri-sendiri, harus mandiri dan berani bersaing, berani jadi gelandangan kalau kalah.
Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri yang mengharmonisasikan dua keistimewaan dari negeri sosialis dan negeri kapitalis. Anda tidak usah banyak bicara, tak usah membantah, tak perlu protes-protes, karena toh makan dan kesejahteraan hidup Anda harus Anda jamin sendiri….
Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil, Majelis Ulama, ICMI, PCPP, YKPK, PNI-Baru maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa Anda beserta keluarga akan tidak sampai kelaparan.
Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada takdirnya yang menimpa kita, dan itu mungkin menyedihkan, demi supaya kita tetap survive secara psikologis — seringkali kita anggap saja itu semua adalah Humor dari yang Maha Kuasa.
Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau kita boleh bermanja kepada Tuhan, mbok ya biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan sebangsanya itu. Mbok ya langsung saja manusia yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini ditakdirkan saja untuk menghuni sorga, sehingga Tuhan tak usah juga bikin neraka.
Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses dalam menggoda Adam, lantas di dalam perkembangan dunia maupun pembangunan kebudayaan nasional — Setan dan Iblis malah mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi idola.
Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam mekanisme perekonomian dan dunia bisnis, dalam soal-soal pembebasan tanah, soal kebebasan asasi manusia dan lain sebagainya — Setan banyak menjadi wacana utama. Para penguasa tertentu dan pemegang modal besar tertentu, banyak memperlakukan Iblis sebagai mitra-kerja, dengan alasan: “Alah, wong Pak Adam saja juga kalah waktu digoda oleh blis kok….”
Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh Sunan Kudus untuk bersyahadat, memutuskan untuk menempuh suatu cara yang membuktikan bahwa ia bukan saja tidak takut melawan Iblis dan Setan — Saridin bahkan membuktikan bahwa ia tidak takut mati. Saridin membuktikan bahwa Saridin lebih besar dibanding kematian….
Demokrasi Tolol versi Saridin (Penerbit Zaituna, 1997)
Setiap calon santri di padepokan Sang Sunan, di test dulu bagaimana ia membaca kalimat syahadat. Dan Saridin memiliki lafal dan caranya sendiri dalam bersyahadat. Suatu cara yang Gus Dur saja pasti tidak berani melakukannya, minimal karena badan Gus Dur terlalu subur — sementara Saridin adalah lelaki yang atletis dan seorang pendekar silat yang mumpuni.
sumber : ruangpustaka.blogspot.com
Tapi sebelum hal itu diceritakan, karena Saridin khawatir Anda kaget lantas darah tinggi Anda kambuh, maka harus diterangkan dulu beberapa hal mendasar yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan humor.
Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah maupun perlahan-lahan secara rasional memutuskan untuk melihat dan memperlakukan kehidupan ini sebagai sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh — namun ia menjalaninya dengan urat saraf yang santai dan dengan kesiapan humor yang setinggi-tingginya.
Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk hatinya, Saridin yakin bahwa Tuhan sendiri sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh humor….
Memang belum tentu benar, belum tentu baik dan arif, untuk menyebut bahwa Tuhan itu Maha (Peng- atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan watakNya, tidak terdapat nama Maha Humor. Tapi kalau misalnya di satu pihak Tuhan itu Maha Penyayang dan di lain pihak Ia Maha Penyiksa, atau di satu sisi Ia Maha Pengasih dan di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau di satu dimensi Ia Maha Penabur Rejeki tapi sekaligus pada dimensi lain Ia Maha Penahan Rejeki — terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu suatu jenis humor. Paling tidak supaya kepala kita tidak pusing.
Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan mengasihi atau menyiksa hamba-hambaNya menurut konteks dan posisi nilai yang memang relevan untuk itu. Tuhan mungkin mengasihi siapa saja meskipun mereka mbalelo kepadaNya: Tuhan tetap memelihara napas para maling, Tuhan tidak menyembunyikan matahari dari para perampok, Tuhan tidak menghapus ilmu dari otak para koruptor.
Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang patuh kepadaNya. Tuhan tidak mungkin menghukum orang yang tak punya kesalahan kepadaNya. Kalau Tuhan menahan rejeki orang yang taat kepadaNya, maka penahanan rejeki itu mungkin merupakan suatu jenis rejeki tertentu yang merupakan metoda agar orang tersebut menghayatinya dan memperoleh nilai yang lebih tinggi. Atau kalau seseorang yang baik kepada Tuhan tapi lantas diberi kemiskinan atau penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu di antara tiga kemungkinan.
Pertama, itu teguran. Alhamdulillah dong kalau Tuhan berkenan mengkritik kita. Itu artinya kita punya kans untuk menjadi lebih baik. Kedua, itu ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang yang disediakan kenaikan pangkat saja yang boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman. Ini lebih alhamdulillah lagi, karena manusia selalu membutuhkan pembersihan diri, memerlukan proses pensucian dan kelahiran kembali.
Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata pandang manusia, ide-ide penciptaan yang Ia paparkan pada alam semesta dan kehidupan, banyak sekali mengandung hal-hal yang kita rasakan sebagai “humor”.
Bukan hanya ketika kita melihat perilaku monyet, umpamanya — yang membuat Saridin berpikir: “Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang maha pencipta humor, atau sekurang-kurangnya pencipta monyet adalah Entertainer Agung bagi jiwa dahaga manusia….”
Soalnya kelakuan monyet ‘kan mirip-mirip Anda….
Juga Anda mengalami sendiri betapa banyaknya hal-hal yang lucu di muka bumi ini, bahkan juga mungkin di luar bumi. Saridin sendiri amat sering tertawa riang atau tertawa kecut kalau melihat atau mengalami kehendak-kehendak Tuhan tertentu. Umpamanya tatkala Adam tinggal di sorga, Tuhan sengaja bikin pohon Khuldi, tapi dilarangnya Adam menyentuh. Tapi pada saat yang sama, Ia ciptakan Iblis untuk menggoda agar Adam melanggar larangan itu — dan akhirnya terjadi benar.
Sehingga beliau beserta istri terlempar ke muka bumi, dan kita semua terpaksa menjumpai diri kita juga tidak lagi di sorga, melainkan di bumi.
Itupun bumi yang sudah dikapling-kapling oleh konsep adanya negara. Oleh adanya organisasi pemerintahan yang kerjanya memerintah dan melarang seperti Tuhan. Kalau Tuhan sih memang berhak seratus persen memerintah dan melarang karena memang Ia yang menciptakan kita dan semua alam ini, serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin hidup manusia.
Tapi pemerintah ‘kan nyuruh kita cari makan sendiri-sendiri. Kalau kita kelaparan atau dikubur hutang, kita tidak bisa mengeluh kepada pemerintah.
Hubungan kita dengan pemerintah hanya bahwa kita sebuah berada di bawah kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan lantas mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu. Semakin banyak di antara kita yang mati, secara tidak langsung program KB akan semakin sukses.
Soal ini memang tergolong paling lucu di dunia. Kalau di negara sosialis dulu, rakyat dijamin kesejahteraannya meskipun minimal, namun sama rata sama rasa — dengan catatan tidak boleh mbacot, tidak boleh membantah, alias tidak ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis, setiap orang memiliki hak bicara, hak ngumpul dan berserikat — tapi dengan syarat harus cari makan sendiri-sendiri, harus mandiri dan berani bersaing, berani jadi gelandangan kalau kalah.
Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri yang mengharmonisasikan dua keistimewaan dari negeri sosialis dan negeri kapitalis. Anda tidak usah banyak bicara, tak usah membantah, tak perlu protes-protes, karena toh makan dan kesejahteraan hidup Anda harus Anda jamin sendiri….
Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil, Majelis Ulama, ICMI, PCPP, YKPK, PNI-Baru maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa Anda beserta keluarga akan tidak sampai kelaparan.
Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada takdirnya yang menimpa kita, dan itu mungkin menyedihkan, demi supaya kita tetap survive secara psikologis — seringkali kita anggap saja itu semua adalah Humor dari yang Maha Kuasa.
Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau kita boleh bermanja kepada Tuhan, mbok ya biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan sebangsanya itu. Mbok ya langsung saja manusia yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini ditakdirkan saja untuk menghuni sorga, sehingga Tuhan tak usah juga bikin neraka.
Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses dalam menggoda Adam, lantas di dalam perkembangan dunia maupun pembangunan kebudayaan nasional — Setan dan Iblis malah mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi idola.
Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam mekanisme perekonomian dan dunia bisnis, dalam soal-soal pembebasan tanah, soal kebebasan asasi manusia dan lain sebagainya — Setan banyak menjadi wacana utama. Para penguasa tertentu dan pemegang modal besar tertentu, banyak memperlakukan Iblis sebagai mitra-kerja, dengan alasan: “Alah, wong Pak Adam saja juga kalah waktu digoda oleh blis kok….”
Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh Sunan Kudus untuk bersyahadat, memutuskan untuk menempuh suatu cara yang membuktikan bahwa ia bukan saja tidak takut melawan Iblis dan Setan — Saridin bahkan membuktikan bahwa ia tidak takut mati. Saridin membuktikan bahwa Saridin lebih besar dibanding kematian….
Demokrasi Tolol versi Saridin (Penerbit Zaituna, 1997)
Thursday 24 September 2015
Gantungkan Cita-citamu Setinggi PNS
Saya sangat berhati-hati menulis ini, takut banyak orang yang
tersinggung. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan atau sinis pada
pilihan hidup seseorang untuk jadi PNS. Sama sekali bukan itu. Kerja apa
pun nggak masalah, asalkan halal, bisa menghidupi anak istri plus ada
dana sisa buat keliling dunia...maya.
Tulisan ini sekedar refleksi pada keheranan saya pada orang yang begitu mengagungkan PNS. Dan praktek kecurangan saat penerimaan PNS. Seolah-seolah PNS adalah sebuah kasta tertinggi. PNS bisa mendongkrak status sosial sampai ke posisi puncak di masyarakat. Serta seakan-akan PNS menjamin hidup pasti bahagia. Dan kerja selain PNS itu pasti sengsara. Seolah-olah quote-nya : "Gantungkan cita-citamu setinggi langit, jadilah PNS". Subhanalloh...
PNS Is Indonesian Dream
Saya selalu takjub melihat euphoria anak muda yang begitu excited bila ada pengumuman penerimaan PNS di Instansi Nganu milik negara. Saya sendiri dari dulu tidak tertarik blass ikutan tes CPNS. Saya nggak ceritakan di sini, itu cuma soal selera, hati dan pikiran saja.
Ada beberapa alasan kenapa PNS masih jadi idaman : Durasi kerja pendek ( 37, 5 jam seminggu), gaji lumayan, tunjangan okelah, tanpa PHK, tanpa target, Sertifikat laku digadaikan, jaminan pensiun di hari tua dan sebagainya. Apesnya, banyak perusahaan swasta yang tidak mampu memenuhi itu semua. Apalagi sistem Outsourcing yang dicanangkan di era Megawati dulu, semakin membuat buruh atau karyawan swasta mrongos jaya.
Sebegitu terobsesinya rakyat pada PNS (juga adanya persaingan yang sangat ketat), akhirnya banyak yang tergoda lewat jalan belakang : nyogok!. Dan praktek percaloan pun berjaya. "Wani piro....!?"
Cara-cara nggak fair begitu yang perlu diberantas tuntas. Kalau masuk awalnya sudah menyuap (dengan biaya yang nggak sedikit) maka otomatis saat jadi PNS nanti, pasti berpikir untuk mengembalikan modal. Maka korupsi-lah yang jadi solusi.
Bukannya sok alim, tapi kalau awal masuknya sudah haram otomatis (gaji) anak turunnya juga haram. Tapi ironisnya, hal tersebut (yang sebetulnya aib) malah jadi sebuah kebanggaan : "Aku wingi melbu PNS mbayar 150 juta lho mboel.."
Saya sih monggo-monggo saja kalau ada yang lewat jalur cepat. Itu pilihan hidup juga. Mau lewat belakang atau samping..silakan. Yang nanggung juga mereka sendiri. Cuman menyerobot jatah orang yang seharusnya lebih layak, itu termasuk dzolim.
Terimakasihlah Pada Gus Dur
Di tahun 80'an ke bawah, jarang ada yang mau jadi Pegawai Negri. Karena gaji pas-pasan plus beras jatah yang kwalitasnya mblendess (dari pengalaman ibu saya yang berpuluh-puluh tahun jadi guru SMP). Kalau pun ada yang mau jadi PNS, itu karena terpaksa. Satu-satunya pilihan kerjaan yang bisa diambil. Gelem gak gelem, kudu gelem.
PNS baru berjaya di era Gus Dur. Bak anak emas, PNS begitu dimanja, gaji naik fantastik, tunjangan ditambah dan sebagainya. Alhasil, lowongan PNS pun jadi idaman para pencari kerja. Mereka berbondong-bondong mengikuti tes CPNS bak laron yang mendatangi lampu petromak. Pasukan bodrek serbuuuu..!
Tapi sayang kinerja para (oknum) PNS tetap nggak jauh berbeda. Uang rakyat terbuang sia-sia untuk menggaji (buta) para oknum tadi. Nggak sedikit yang terlihat di Mall atau pasar saat jam kerja. Tertangkap razia saat 'oh yess..oh noo' di sebuah Hotel. Atau begitu mudahnya minta ijin nggak masuk (berdasar pengalaman teman yang suka nonton konser musik di luar kota).
Seperti juga pengalaman saya mengurus sesuatu di kelurahan, saya lihat mereka begitu rileksnya bekerja. Jam kerja pun masih bisa main ping pong. Lurahnya juga nggak tiap hari ngantor. Dan ada semacam kotak sumbangan yang harus diisi. "Ini administrasi seikhlasnya mas...gawe ngopi, tuku rokok, gorengan..5000..10.000..". Pungli semprul..!
'Negeri' Bukan Bahasa Birokrasi
Kata 'Negeri' pada Pegawai Negri Sipil pun sebenarnya nggak tepat. Harusnya kepanjangan PNS adalah Pegawai Negara Sipil. Karena kata 'Negri' itu adalah bahasa budaya bukan bahasa konstitusi atau birokrasi. Kata 'Negeri' hanya cocok untuk suatu karya seni maupun budaya. Misal judul lagu "Padamu Negeri", "Negeri Di Awan" dan sebagainya. Coba saja ganti kata "Negeri" dengan "Negara" di lagu tadi. Bakalan jadi naif dan wagu. .."Padamu Negara", "Negara Di Awan".
Kata 'negeri' itu nuansa, sedangkan 'negara' itu benda padat. Maka Pegawai negeri itu tidak pernah 'beres' karena mereka hanya nuansa. Seharusnya memang Pegawai Negara (bukan Pegawai Negeri), sehingga mereka tidak terikat pada pemerintah. Jika ada pegawai negeri ada di kantor kabupaten, seharusnya mereka bukan bawahan Bupati.
**
Tapi sudahlah, semua orang berhak menentukan hidupnya sendiri-sendiri. Mau jadi PNS, berwiraswasta, buruh pabrik, wong gendeng atau apa pun..monggooo. Cuman ingatlah wahai PNS bahwa anda semua dibayar pakai uang negara (uang rakyat). Jadi hargai itu dengan kesungguhan kerja. Kalau anda mengingkarinya, maka itu adalah bentuk pengkhianatan pada rakyat.
Jadi sekarang bagi mereka yang belum jadi PNS atau yang gagal jadi PNS nggak usah memble. Hidup bahagia tidak harus jadi PNS. Jadilah apa pun yang anda mau dan yakinlah itu bisa membuat bahagia. So...Merdekakan dirimu dari ketakutan tidak bahagia bila tidak jadi PNS. Merdeka!!!!
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya pada www.kompasiana.com oleh Robbi Gandamana
Tulisan ini sekedar refleksi pada keheranan saya pada orang yang begitu mengagungkan PNS. Dan praktek kecurangan saat penerimaan PNS. Seolah-seolah PNS adalah sebuah kasta tertinggi. PNS bisa mendongkrak status sosial sampai ke posisi puncak di masyarakat. Serta seakan-akan PNS menjamin hidup pasti bahagia. Dan kerja selain PNS itu pasti sengsara. Seolah-olah quote-nya : "Gantungkan cita-citamu setinggi langit, jadilah PNS". Subhanalloh...
PNS Is Indonesian Dream
Saya selalu takjub melihat euphoria anak muda yang begitu excited bila ada pengumuman penerimaan PNS di Instansi Nganu milik negara. Saya sendiri dari dulu tidak tertarik blass ikutan tes CPNS. Saya nggak ceritakan di sini, itu cuma soal selera, hati dan pikiran saja.
Ada beberapa alasan kenapa PNS masih jadi idaman : Durasi kerja pendek ( 37, 5 jam seminggu), gaji lumayan, tunjangan okelah, tanpa PHK, tanpa target, Sertifikat laku digadaikan, jaminan pensiun di hari tua dan sebagainya. Apesnya, banyak perusahaan swasta yang tidak mampu memenuhi itu semua. Apalagi sistem Outsourcing yang dicanangkan di era Megawati dulu, semakin membuat buruh atau karyawan swasta mrongos jaya.
Sebegitu terobsesinya rakyat pada PNS (juga adanya persaingan yang sangat ketat), akhirnya banyak yang tergoda lewat jalan belakang : nyogok!. Dan praktek percaloan pun berjaya. "Wani piro....!?"
Cara-cara nggak fair begitu yang perlu diberantas tuntas. Kalau masuk awalnya sudah menyuap (dengan biaya yang nggak sedikit) maka otomatis saat jadi PNS nanti, pasti berpikir untuk mengembalikan modal. Maka korupsi-lah yang jadi solusi.
Bukannya sok alim, tapi kalau awal masuknya sudah haram otomatis (gaji) anak turunnya juga haram. Tapi ironisnya, hal tersebut (yang sebetulnya aib) malah jadi sebuah kebanggaan : "Aku wingi melbu PNS mbayar 150 juta lho mboel.."
Saya sih monggo-monggo saja kalau ada yang lewat jalur cepat. Itu pilihan hidup juga. Mau lewat belakang atau samping..silakan. Yang nanggung juga mereka sendiri. Cuman menyerobot jatah orang yang seharusnya lebih layak, itu termasuk dzolim.
Terimakasihlah Pada Gus Dur
Di tahun 80'an ke bawah, jarang ada yang mau jadi Pegawai Negri. Karena gaji pas-pasan plus beras jatah yang kwalitasnya mblendess (dari pengalaman ibu saya yang berpuluh-puluh tahun jadi guru SMP). Kalau pun ada yang mau jadi PNS, itu karena terpaksa. Satu-satunya pilihan kerjaan yang bisa diambil. Gelem gak gelem, kudu gelem.
PNS baru berjaya di era Gus Dur. Bak anak emas, PNS begitu dimanja, gaji naik fantastik, tunjangan ditambah dan sebagainya. Alhasil, lowongan PNS pun jadi idaman para pencari kerja. Mereka berbondong-bondong mengikuti tes CPNS bak laron yang mendatangi lampu petromak. Pasukan bodrek serbuuuu..!
Tapi sayang kinerja para (oknum) PNS tetap nggak jauh berbeda. Uang rakyat terbuang sia-sia untuk menggaji (buta) para oknum tadi. Nggak sedikit yang terlihat di Mall atau pasar saat jam kerja. Tertangkap razia saat 'oh yess..oh noo' di sebuah Hotel. Atau begitu mudahnya minta ijin nggak masuk (berdasar pengalaman teman yang suka nonton konser musik di luar kota).
Seperti juga pengalaman saya mengurus sesuatu di kelurahan, saya lihat mereka begitu rileksnya bekerja. Jam kerja pun masih bisa main ping pong. Lurahnya juga nggak tiap hari ngantor. Dan ada semacam kotak sumbangan yang harus diisi. "Ini administrasi seikhlasnya mas...gawe ngopi, tuku rokok, gorengan..5000..10.000..". Pungli semprul..!
'Negeri' Bukan Bahasa Birokrasi
Kata 'Negeri' pada Pegawai Negri Sipil pun sebenarnya nggak tepat. Harusnya kepanjangan PNS adalah Pegawai Negara Sipil. Karena kata 'Negri' itu adalah bahasa budaya bukan bahasa konstitusi atau birokrasi. Kata 'Negeri' hanya cocok untuk suatu karya seni maupun budaya. Misal judul lagu "Padamu Negeri", "Negeri Di Awan" dan sebagainya. Coba saja ganti kata "Negeri" dengan "Negara" di lagu tadi. Bakalan jadi naif dan wagu. .."Padamu Negara", "Negara Di Awan".
Kata 'negeri' itu nuansa, sedangkan 'negara' itu benda padat. Maka Pegawai negeri itu tidak pernah 'beres' karena mereka hanya nuansa. Seharusnya memang Pegawai Negara (bukan Pegawai Negeri), sehingga mereka tidak terikat pada pemerintah. Jika ada pegawai negeri ada di kantor kabupaten, seharusnya mereka bukan bawahan Bupati.
**
Tapi sudahlah, semua orang berhak menentukan hidupnya sendiri-sendiri. Mau jadi PNS, berwiraswasta, buruh pabrik, wong gendeng atau apa pun..monggooo. Cuman ingatlah wahai PNS bahwa anda semua dibayar pakai uang negara (uang rakyat). Jadi hargai itu dengan kesungguhan kerja. Kalau anda mengingkarinya, maka itu adalah bentuk pengkhianatan pada rakyat.
Jadi sekarang bagi mereka yang belum jadi PNS atau yang gagal jadi PNS nggak usah memble. Hidup bahagia tidak harus jadi PNS. Jadilah apa pun yang anda mau dan yakinlah itu bisa membuat bahagia. So...Merdekakan dirimu dari ketakutan tidak bahagia bila tidak jadi PNS. Merdeka!!!!
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya pada www.kompasiana.com oleh Robbi Gandamana
Monday 21 September 2015
Selamat Datang Bus Rapid Transport (BRT) Sidoarjo
Kemarin (21/9) Pemkab Sidoarjo resmi meluncurkan moda transportasi publik yang menghubungkan Porong-Sidoarjo-Terminal Purabaya bertajuk Bus Rapid Transport (BRT). Peresmian dilakukan oleh Bupati Sidoarjo Saiful Illah di Kantor Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo, Kecamatan Candi Sidoarjo. Sebanyak 10 bus yang berasal dari bantuan Kementerian Perhubungan ini akan mulai mengaspal melintasi rute Terminal Porong - Jl Raya Porong - Jl Raya Tanggulangin - Jl Raya Candi -
Jl Sunandar PS - Jl Diponegoro - Jl Pahlawan - Tol Sidoarjo - Tol Waru -
Terminal Purabaya. Pemkab Sidoarjo dengan ini menjadi pemerintah daerah kesekian yang mencoba mengikuti kesuksesan Busway a.k.a Bus Transjakarta dalam mengembangkan moda transportasi masal dalam kota (komuter).
Peresmian BRT Sidoarjo - sumber : detik.com
Sama dengan sistem yang dikembangkan oleh Transjakarta, BRT Sidoarjo ini juga melintasi jalur khusus dan hanya berhenti di halte-halte tertentu saja. Bedanya jika di Jakarta Halte dan Lintasan Busway benar-benar bersifat khusus dan harus steril dari kendaraan lain, BRT Sidoarjo masih memanfaatkan jalur pedestrian untuk pembangunan halte dan belum ada pembatas yang jelas antara jalur BRT dengan jalur kendaraan lain. Untuk tiket jarak terdekat dan terjauh dipatok tarif Rp. 5.000,- sekali jalan. Khusus pada hari peluncuran, masyarakat pengguna jasa BRT tidak dipungut biaya alias gratis. "Dengan BRT ini, harapannya dapat mengurangi kemacetan terutama di jam berangkat dan pulang kerja," jelas Kepala Dishub Sidoarjo Joko Santosa sebagaimana dikutip detik.com. Adapun operator yang ditunjuk mengelola BRT Sidoarjo ini adalah Perum Damri.
halte BRT - sumber : www.detik.com
Meskipun demikian peresmian BRT Sidoarjo ini bukan tanpa masalah. Setelah sebelumnya ditolak oleh pemkot Surabaya terkait pembangunan Shelter di dalam Terminal Purabaya, keberadaan BRT ini juga masih menuai protes dari para pengusaha dan pengemudi angkutan lyn dan bison yang juga melayani trayek Purabaya-Sidoarjo-Porong. Para sopir beranggapan apabila Bus Rapid Transit diluncurkan, bukan
tidak mungkin akan mengurangi pendapatan bagi sopir angkutan umum di
Sidoarjo. Para sopir menginginkan agar Pemkab Sidoarjo memperhatikan
terlebih dulu dampak sosial yang akan ditimbulkan. Seperti yang disampaikan oleh Jumadi, salah satu sopir lyn di
Sidoarjo. Dirinya mengungkapkan bahwa apabila BRT ini diluncurkan, bukan
tidak mungkin akan mengurangi pendapatan para sopir di Sidoarjo. “Semuanya tidak ada yang setuju karena nanti pendapatan berkurang.
Ini saja tidak ada BRT pendapatan sudah berkurang,” kata Jumadi, sopir
lyn sebagaimana dikutip surabayanews.com.
lyn jurusan porong-sidoarjo-purabaya dengan latar belakang halte BRT - sumber : www.jawapos.com
Berdasarkan pengalaman saya, menggunakan moda transportasi lyn ataupun bison untuk bepergian dari Purabaya-Sidoarjo atau sebaliknya memang cukup membutuhkan kesabaran. Angkutan Lyn biasanya tidak mau berangkat bila kapasitas tempat duduk belum dalam kondisi full seat. Pengemudi bahkan tidak peduli kalau ada penumpang yang membawa barang bawaan yang apabila dihitung volume dan beratnya bisa jadi setara dua orang penumpang. Padahal mungkin ada penumpang yang harus segera tiba di lokasi yang dituju dan ini pasti sangat menjengkelkan. Selain itu jangan harap anda menemukan fasilitas ac dan sebagainya, dapat armada yang bagus dengan kursi beludru saja sudah bisa dibilang beruntung. Kondisi ini bisa jadi merupakan dampak dari pendapatan pelaku angkutan umum di jalur ini sebagaimana yang disampaikan oleh bapak Jumadi. Kalau benar demikian, sebuah solusi harus segera ditemukan agar peluncuran BRT yang sejatinya sebuah terobosan hebat ini benar-benar berfungsi maksimal. Tentu kita tidak ingin suatu hari ada aksi-aksi negatif yang dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan akan hadirnya BRT ini, sebagaimana jamak ditemui di masyarakat kita belakangan ini.
Terlepas dari pro kontra dan segala permasalahan yang ada, BRT sudah diluncurkan. The show must go on. Kebutuhan masyarakat pengguna jasa transportasi akan sarana dan fasilitas transportasi yang murah, aman dan nyaman harus tetap diutamakan. Keberhasilan acara peluncuran ini juga harus diikuti keberhasilan akan harmonisasi dan sinergitas antara BRT dengan moda transportasi sejalur lainnya. Syukur-syukur operator BRT mau merangkul pengusaha dan pengemudi di jalur ini untuk bersama-sama menciptakan sarana transportasi yang murah, aman dan nyaman bagi masyarakat. Terakhir, saya ucapkan selamat untuk Pemkab dan masyarakat Sidoarjo atas peluncuran BRT. Ayo Naik Bus, Biar Nggak Bikin Macet.
Potongan Berita dari harian Jawa Pos edisi 22/9/2015
Laku dan Tirakat masih Relevankah?
Laku dan tirakat adalah cara orang jawa dalam berusaha mencapai
suatu keinginan mulai dari keinginan akan suatu ilmu, kekayaan,
kesaktian, pangkat, rejeki dan sebagainya yang merupakan keinginan
orang dalam hidup. Namun laku ini bukan lah suatu usaha yang
berhubungan dengan keinginan tersebut tetapi lebih cenderung ke arah
spiritual atau keyakinan.
Banyak
macam orang dalam menjalani laku mulai dari puasa, tidak tidur,
berendam di sungai, sampai kepada ritual yang aneh dan tidak masuk
logika orang modern yg lain, yang kesemuanya bertujuan agar apa yang
menjadi harapan mereka bisa tercapai.
Jika di aplikasikan pada jaman sekarang pastilah akan terasa berat untuk tidak tidur atau berpuasa selama 7 atau 40 hari penuh tanpa makan, sementara kewajiban atas pekerjaan dan aktifitas sehari hari menuntut orang untuk tetap fit dan dalam kondisi yang prima. Jika demikian apakah konsep tentang laku ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi jaman sekarang ataukah masih perlu untuk dijalankan?
Jawabanya adalah Ya, anda masih perlu menjalankan laku, karena konsep tentang laku ini masih harus dijalankan dengan menyesuaikan perubahan jaman.
Hakekat laku adalah upaya dalam menjaga agar tetap fokus pada mindset dan tujuan, dengan demikian akan mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang agar selalu tetap dalam arah yang membangun tercapainya tujuan. Sebagai contoh misalnya ada orang yang menginginkan kekayaan maka dengan menjalankan laku dia akan menjauh dari tindakan pemborosan atau berfoya-foya dan kemudian akan cenderung hidup berhemat serta bekerja lebih keras. Jika anda ingin sukses dalam karir maka jadikanlah pekerjaan adalah laku anda sehingga mendorong anda bekerja lebih profesional, jujur dan disiplin dengan demikian anda akan terhindar dari kebiasaan dan etos kerja buruk yang dapat menghancurkan karir anda.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang membuat orang berhasil mencapai tujuannya dengan menjalankan laku adalah bukan karena bentuk ritualnya melainkan karena mereka akan cenderung tetap fokus kepada apa yang menjadi tujuan sehingga segala sesuatu yang dikerjakan akan terkondisi pada arah untuk mencapai tujuan. Jika kita ambil hubunganya dengan pemahaman tentang alam semesta maka laku akan memperjelas visualisasi tujuan yang terekam dalam memori otak kita sehingga respon alam semesta akan lebih cepat diterima. Jika anda ingin sukses dalam mencapai tujuan maka jalankan laku dengan cara tetaplah fokus pada keinginan untuk mencapai tujuan tersebut.
ardjel.blogspot.com/2009/11/ laku-dan-tirakat-masih-relevank ah.html
kesimpulannya yang diperlukan adalah sebuah tekad untuk menggapai sebuah tujuan, dengan tekad itu meskipun tujuan yang qt inginkan tidak tercapai,tapi qt akan mencapai "tujuan" qt yang sebenarnya
Jika di aplikasikan pada jaman sekarang pastilah akan terasa berat untuk tidak tidur atau berpuasa selama 7 atau 40 hari penuh tanpa makan, sementara kewajiban atas pekerjaan dan aktifitas sehari hari menuntut orang untuk tetap fit dan dalam kondisi yang prima. Jika demikian apakah konsep tentang laku ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi jaman sekarang ataukah masih perlu untuk dijalankan?
Jawabanya adalah Ya, anda masih perlu menjalankan laku, karena konsep tentang laku ini masih harus dijalankan dengan menyesuaikan perubahan jaman.
Hakekat laku adalah upaya dalam menjaga agar tetap fokus pada mindset dan tujuan, dengan demikian akan mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang agar selalu tetap dalam arah yang membangun tercapainya tujuan. Sebagai contoh misalnya ada orang yang menginginkan kekayaan maka dengan menjalankan laku dia akan menjauh dari tindakan pemborosan atau berfoya-foya dan kemudian akan cenderung hidup berhemat serta bekerja lebih keras. Jika anda ingin sukses dalam karir maka jadikanlah pekerjaan adalah laku anda sehingga mendorong anda bekerja lebih profesional, jujur dan disiplin dengan demikian anda akan terhindar dari kebiasaan dan etos kerja buruk yang dapat menghancurkan karir anda.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang membuat orang berhasil mencapai tujuannya dengan menjalankan laku adalah bukan karena bentuk ritualnya melainkan karena mereka akan cenderung tetap fokus kepada apa yang menjadi tujuan sehingga segala sesuatu yang dikerjakan akan terkondisi pada arah untuk mencapai tujuan. Jika kita ambil hubunganya dengan pemahaman tentang alam semesta maka laku akan memperjelas visualisasi tujuan yang terekam dalam memori otak kita sehingga respon alam semesta akan lebih cepat diterima. Jika anda ingin sukses dalam mencapai tujuan maka jalankan laku dengan cara tetaplah fokus pada keinginan untuk mencapai tujuan tersebut.
ardjel.blogspot.com/2009/11/
kesimpulannya yang diperlukan adalah sebuah tekad untuk menggapai sebuah tujuan, dengan tekad itu meskipun tujuan yang qt inginkan tidak tercapai,tapi qt akan mencapai "tujuan" qt yang sebenarnya
Hanya ada di Jawa Timur!!
PADA bus-bus Jawa Timuran ada pemandangan istimewa kalau Anda yang
suka naik bus bumel (bus kelas ekonomi) dan jeli menyimak interior
langit-langitnya. Pada besi aluminium untuk pegangan penumpangnya yang
berdiri di lorong, Anda akan bisa temui tas kresek yang digantungkan.
Apa fungsi tas kresek ini? Buat mereka yang belum pernah bekerja atau tinggal
di kota-kota di Jawa Tmur dan naik bus di provinsi ini pasti sedikit
kaget dan bertanya-tanya. Tas kresek itu berfungsi untuk membantu
penumpang yang mengalami mabuk di perjalanan. Biasanya, kondektur bus
akan langsung sigap begitu ada penumpang yang mulai terdengar “whuekk
whuekk…” alias mabuk dan mulai muntah.
Tas kresek ini berfungsi sebagai bak penampung sementara muntahan makanan dari perut penumpang yang mabuk perjalanan. Semuanya for free alias
gratis sebagai bagian servis operator bus klas ekonomi untuk
penumpangnya. Dengan begitu, bus tetap terawat bersih bebas dari kotoran
muntahan penumpang, yang bagi sebagian orang, melihatnya apalagi
mencium baunya, (maaf) terasa menjijikkan. Satu lagi keunikan bus di
Jawa Timur yang pernah saya temui.
(disadur dari bismania.org)
yang mabuuk..yang mabuuk
Tulungagung-Jogja yang Mati Suri
Jalur Blitar-Tulungagung-Kediri-Madi un-Solo-Jogja/Purwokerto
adalah salah satu trayek yang cukup lama beroperasi. Jalur ini selain
dilayani oleh armada bumel juga menjadi jalur bus-bus malam jurusan
jakarta dan bandung. Dulunya trayek ini boleh dibilang dikuasai oleh dua
perusahaan besar, DAHLIA INDAH di Tulungagung, dan HASTI di Kediri.
Pada masa kejayaannya kedua PO ini
sangat populer di masyarakat pengguna jasa angkutan bus. menyandang
image “bus balap” sebagaimana umumnya pemain di jalur saradan-caruban,
kedua PO ini bahkan tak terkalahkan oleh PO-PO Surabaya-Jogja semacam
EKA, MIRA, SUMBER KENCONO, MAPAN, JAYA UTAMA atau TRIGAYA.
PO Dahlia Indah - sumber : www.bismania.com
PO Hasti (sekarang fokus ke trayek Surabaya-Pare-Kediri) - sumber : www.expertofsomething.wordpress.com
Akan
tetapi kehancuran yang dialami oleh kedua PO ini merubah kondisi trayek
yang sebenarnya padat penumpang ini. HASTI tampaknya tak mampu
terus-terusan “balapan” di jalur tengkorak ini, armadanya perlahan-lahan
habis akibat seringnya mengalami laka. Bahkan “saudara kembar” nya,
JAYA RAYA, juga ambruk ditimpa masalah yang sama. DAHLIA INDAH juga
mengalami nasib yang tak jauh berbeda, armadanya hancur meski bukan
karena laka, melainkan disinyalir karena tingkah laku kru-nya yang
sering mencampur bahan bakar solar dengan minyak tanah bahkan minyak
goreng(mau bikin gorengan mesin kali ya..hahahahaha). akibatnya
armada-armada lambat laun DAHLIA INDAH tak mampu bersaing lagi dengan
kecepatan MIRA, EKA ataupun SUMBER GROUP dan terus mengalami penurunan
dari segi kuantitas armada.
PO Mira - sumber : www.bisjurusan.com
Hancurnya HASTI sebenarnya membuat
DAHLIA INDAH menjadi pemain tunggal di jalur ini, akan tetapi hal ini
tidak diimbangi dengan pelayanan yang bagus kepada konsumen. Tarif yang
cenderung ngawur(khas bus setoran), armada yang kurang memadai masih
ditambah pula dengan kebiasaan ngetem berjam-jam membuat bus ini lambat laun ditinggalkan konsumennya.
Di
pihak lain bus-bus yang beroperasi di trayek Surabaya-Madiun-Solo-Jogja
mengalami peningkatan kualitas armada dan pelayanan yang signifikan.
Meski banyak pemain lama yang berguguran sehingga hanya menyisakan EKA,
MIRA dan SUMBER GROUP, tetapi persaingan yang kompetitif di antara
PO-PO ini membuat Gap antara dua trayek ini menjadi amat
jauh. Hal ini berakibat pada beralihnya perilaku konsumen. Konsumen
cenderung lebih suka “mengoper diri sendiri” dengan naik bus jurusan
Tulungagung/ Kediri-Kertosono-Surabaya
sebelum menyambung bus jurusan Madiun-Solo-Jogja di kertosono, begitu
juga sebaliknya. Ditambah lagi bus-bus yang beroperasi di jalur
Tulungagung/ Kediri-Kertosono-Surabaya juga mengalami peningkatan dalam hal pelayanan dan armada.
Jika
perilaku konsumen ini bertahan dalam beberapa waktu lamanya, mungkin
dapat dipastikan bahwa trayek ini mungkin akan segera mati. Sungguh
ironis memang, sebuah trayek dengan kuota penumpang yang cukup
signifikan harus “terhapus” dari peta jalur bus Indonesia. Untuk
mencegah hal ini tentu para operator trayek ini harus mengusahakan untuk
mengubah lagi perilaku konsumen pengguna jalur ini. Faktor eksternal
yang dalam hal ini berupa kemajuan dari trayek lain yang bersinggungan
dengan trayek ini tentu tidak dapat dicegah. Yang bisa dilakukan
tentunya perbaikan faktor intern, yakni kualitas pelayanan dan armada
dari pemain-pemain di jalur ini. Meski tampaknya sangat sulit berharap
pemain tunggal jaur ini, DAHLIA INDAH akan mengubah orientasi dan
kebijakan manajemen perusahaannya.
Keadaan ini sebenarnya
sempat ditangkap oleh beberapa PO yang berusaha mengambil peluang dari
“keanehan” jalur ini. ROSALIA INDAH muncul dengan trayek yang hampir
sama persis dengan DAHLIA INDAH, yaitu Malang-Blitar-Tulungagung-Kedi ri-Madiun-Solo-Jogja-Purwokert o-Cilacap. Tetapi sebagaimana brand ROSALIA
INDAH, PO ini hanya menawarkan bus-bus malam yang pangsa pasarnya tentu
berbeda dengan Bus bumel. Kemudian muncul harapan besar ketika RESTU
dengan armada ATB Pandanya hadir dengan trayek aneh
Tulungagung-Madiun-Solo-Suraba ya-Tulungagung.
Semua orang pasti mengenal reputasi RESTU yang menggebrak dunia bis
jawa timur dengan Restu Panda. Tetapi ternyata RESTU juga tidak bertahan
lama, beberapa bulan setelah beroperasi armada Panda menghilang dari
terminal Tulungagung. Tampaknya 1 unit armada panda belum mampu
menunjukkan keseriusan PO yang berasal dari kota apel ini untuk
“menghidupkan” jalur ini.
PO Rosalia Indah - sumber : www.bismania.com
Pareto's Theory a.k.a Dahlan Iskan's Theory
Dalam sebuah paparan yang disampaikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada tanggal 16 September 2013 di Kantor KPU, pimpinan KPU
mengutip sebuah kata-kata yang diucapkan oleh Menteri BUMN Dahlan
Iskan. "Dia bilang di setiap komunitas yang jelek cuma 10 persen, yang
baik juga 10 persen, yang lainnya ikut-ikutan. Kalau direkturnya baik,
komisionernya baik, menterinya baik,
maka dia punya modal 10 persen, 80 persennya pasti ikut," kata Adnan
Pandu Praja pimpinan KPU yang hadir di acara yang digelar sebagai
persiapan pelaksanaan pemilu 2014 tersebut. http://news.detik.com/read/ 2013/09/16/151613/2359998/10/ kpk-paparkan-teori-dahlan-iskan -untuk-cegah-korupsi
Dahlan Iskan - sumber : www.nasional.harianterbit.com
Teori
yang populer di masyarakat ini disebut-sebut merupakan modifikasi dari
toeri pareto, yang dibuat oleh Joseph M. Juran berdasarkan pendapat ahli
ekonomi italia, vilfredo pareto. Meski sebenarnya terdapat beberapa
perbedaan yang signifikan antara teori pareto dengan teori dahlan iskan.
Teori pareto menyatakan bahwa pada banyak kejadian 80% efeknya
disebabkan oleh 20% penyebabnya. Teori ini sendiri tidak bisa diartikan
secara membabi buta hanya melalui definisi harfiahnya saja. Mengingat
teori dibuat hanya berdasarkan pengamatan pareto semata bahwa 80%
pendapatan di Italia pada tahun 1906 hanya dimiliki oleh 20% populasi
saja. Akan sangat aneh misalkan anda mengatakan bahwa 80% pekerjaan
dilakukan oleh hanya 20% karyawan saja. Ini akan sangat berbahaya bagi
kinerja anda dan organisasi secara keseluruhan.
vilfredo pareto - sumber : www.toolshero.com
Kalaupun benar
teori dahlan iskan disebut modifikasi dari teori pareto, maka hanya ada
satu persamaan di antara keduanya. Yaitu kedua teori ini tidak bisa
diartikan atau diaplikasikan secara membabi buta, secara harfiah apalagi
hanya mengutip sebagian teorinya saja. Contohnya jika kita mengatakan
bahwa pada suatu komunitas pasti ada 10% yang baik, 10% yang buruk dan
80% sisanya hanyalah pengikut, tanpa menambah penjelasan bahwa
komisioner, direktur atau pimpinan-lah yang sebenarnya menentukan arah
dan kinerja organisasi, bisa jadi kita akan memecah belah organisasi
atau komunitas anda sendiri.
Hal ini masih belum ditambah lagi
dengan kesulitan yang akan anda hadapi dalam menentukan kriteria “baik”
dan “tidak baik”. Sebagai pimpinan kita mungkin bisa menilai seseorang
“baik” hanya karena dia hadir tepat waktu, pulang sesuai jadwal,
mengerjakan pekerjaan sesuai perintah anda dan selalu tersenyum saat
berpapasan dengan anda. Tapi kita tidak akan pernah tahu apa sebenarnya
motivasi dari anak buah kita, apakah benar dia sedang bekerja dengan
tulus dan bersemangat, ingin menunjukkan kinerja dan kualitas dirinya,
atau hanya menginginkan sesuatu dari pimpinannya. Anak buah yang “baik”
tentu bukanlah orang yang selalu mengatakan “baik bu,” atau “baik pak,”
ketika pimpinan memberikan perintah tanpa bisa memberikan pandangan
kritis terhadap apa yang diperintahkan dan dampaknya terhadap kinerja
organisasi. Dahlan Iskan sendiri mengatakan bahwa anak buah yang baik,
adalah anak buah yang loyal kepada atasannya tetapi juga KRITIS, anak
buah yang patuh tapi juga bisa berpikir mana yang baik dan mana yang
tidak baik. Karena dengan menjadi anak buah yang kritis, sesungguhnya
anak buah itu bisa menyelamatkan atasannya dari situasi kritis yang
mungkin akan dihadapi. Tetapi jika ke-kritis-annya hanya bertujuan untuk
mementingkan kepentingannya sendiri, maka kita bisa langsung memberikan
label “tidak baik” baginya.
Karena itulah teori dahlan iskan ini
tidak bisa serta merta diaplikasikan dan diterjemahkan secara harfiah
saja. Kualitas kita sebagai pemimpin akan sangat menentukan sehingga
kita benar-benar bisa memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang
tidak baik. Ditambah lagi jika benar menurut teori Dahlan Iskan bahwa
yang baik dan yang buruk berebut pengaruh, maka kualitas dari top manager –lah yang bisa membawa suatu organisasi kepada arah dan tujuan yang dikehendaki atau justru ke arah sebaliknya.
Subscribe to:
Posts (Atom)