Saya sangat berhati-hati menulis ini, takut banyak orang yang
tersinggung. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan atau sinis pada
pilihan hidup seseorang untuk jadi PNS. Sama sekali bukan itu. Kerja apa
pun nggak masalah, asalkan halal, bisa menghidupi anak istri plus ada
dana sisa buat keliling dunia...maya.
Tulisan ini sekedar
refleksi pada keheranan saya pada orang yang begitu mengagungkan PNS.
Dan praktek kecurangan saat penerimaan PNS. Seolah-seolah PNS adalah
sebuah kasta tertinggi. PNS bisa mendongkrak status sosial sampai ke
posisi puncak di masyarakat. Serta seakan-akan PNS menjamin hidup pasti
bahagia. Dan kerja selain PNS itu pasti sengsara. Seolah-olah quote-nya :
"Gantungkan cita-citamu setinggi langit, jadilah PNS". Subhanalloh...
PNS Is Indonesian Dream
Saya
selalu takjub melihat euphoria anak muda yang begitu excited bila ada
pengumuman penerimaan PNS di Instansi Nganu milik negara. Saya sendiri
dari dulu tidak tertarik blass ikutan tes CPNS. Saya nggak ceritakan di
sini, itu cuma soal selera, hati dan pikiran saja.
Ada beberapa
alasan kenapa PNS masih jadi idaman : Durasi kerja pendek ( 37, 5 jam
seminggu), gaji lumayan, tunjangan okelah, tanpa PHK, tanpa target,
Sertifikat laku digadaikan, jaminan pensiun di hari tua dan sebagainya.
Apesnya, banyak perusahaan swasta yang tidak mampu memenuhi itu semua.
Apalagi sistem Outsourcing yang dicanangkan di era Megawati dulu,
semakin membuat buruh atau karyawan swasta mrongos jaya.
Sebegitu
terobsesinya rakyat pada PNS (juga adanya persaingan yang sangat
ketat), akhirnya banyak yang tergoda lewat jalan belakang : nyogok!. Dan
praktek percaloan pun berjaya. "Wani piro....!?"
Cara-cara nggak
fair begitu yang perlu diberantas tuntas. Kalau masuk awalnya sudah
menyuap (dengan biaya yang nggak sedikit) maka otomatis saat jadi PNS
nanti, pasti berpikir untuk mengembalikan modal. Maka korupsi-lah yang
jadi solusi.
Bukannya sok alim, tapi kalau awal masuknya sudah
haram otomatis (gaji) anak turunnya juga haram. Tapi ironisnya, hal
tersebut (yang sebetulnya aib) malah jadi sebuah kebanggaan : "Aku wingi
melbu PNS mbayar 150 juta lho mboel.."
Saya sih monggo-monggo
saja kalau ada yang lewat jalur cepat. Itu pilihan hidup juga. Mau lewat
belakang atau samping..silakan. Yang nanggung juga mereka sendiri.
Cuman menyerobot jatah orang yang seharusnya lebih layak, itu termasuk
dzolim.
Terimakasihlah Pada Gus Dur
Di
tahun 80'an ke bawah, jarang ada yang mau jadi Pegawai Negri. Karena
gaji pas-pasan plus beras jatah yang kwalitasnya mblendess (dari
pengalaman ibu saya yang berpuluh-puluh tahun jadi guru SMP). Kalau pun
ada yang mau jadi PNS, itu karena terpaksa. Satu-satunya pilihan kerjaan
yang bisa diambil. Gelem gak gelem, kudu gelem.
PNS baru berjaya
di era Gus Dur. Bak anak emas, PNS begitu dimanja, gaji naik fantastik,
tunjangan ditambah dan sebagainya. Alhasil, lowongan PNS pun jadi
idaman para pencari kerja. Mereka berbondong-bondong mengikuti tes CPNS
bak laron yang mendatangi lampu petromak. Pasukan bodrek serbuuuu..!
Tapi sayang kinerja para (oknum) PNS tetap nggak jauh berbeda. Uang rakyat terbuang sia-sia untuk menggaji (buta) para oknum tadi. Nggak sedikit yang terlihat di Mall atau pasar saat jam kerja. Tertangkap razia saat 'oh yess..oh noo'
di sebuah Hotel. Atau begitu mudahnya minta ijin nggak masuk (berdasar
pengalaman teman yang suka nonton konser musik di luar kota).
Seperti
juga pengalaman saya mengurus sesuatu di kelurahan, saya lihat mereka
begitu rileksnya bekerja. Jam kerja pun masih bisa main ping pong.
Lurahnya juga nggak tiap hari ngantor. Dan ada semacam kotak sumbangan
yang harus diisi. "Ini administrasi seikhlasnya mas...gawe ngopi, tuku
rokok, gorengan..5000..10.000..". Pungli semprul..!
'Negeri' Bukan Bahasa Birokrasi
Kata
'Negeri' pada Pegawai Negri Sipil pun sebenarnya nggak tepat. Harusnya
kepanjangan PNS adalah Pegawai Negara Sipil. Karena kata 'Negri' itu
adalah bahasa budaya bukan bahasa konstitusi atau birokrasi. Kata
'Negeri' hanya cocok untuk suatu karya seni maupun budaya. Misal judul
lagu "Padamu Negeri", "Negeri Di Awan" dan sebagainya. Coba saja
ganti kata "Negeri" dengan "Negara" di lagu tadi. Bakalan jadi naif dan
wagu. .."Padamu Negara", "Negara Di Awan".
Kata 'negeri' itu
nuansa, sedangkan 'negara' itu benda padat. Maka Pegawai negeri itu
tidak pernah 'beres' karena mereka hanya nuansa. Seharusnya memang
Pegawai Negara (bukan Pegawai Negeri), sehingga mereka tidak terikat
pada pemerintah. Jika ada pegawai negeri ada di kantor kabupaten,
seharusnya mereka bukan bawahan Bupati.
**
Tapi sudahlah,
semua orang berhak menentukan hidupnya sendiri-sendiri. Mau jadi PNS,
berwiraswasta, buruh pabrik, wong gendeng atau apa pun..monggooo. Cuman
ingatlah wahai PNS bahwa anda semua dibayar pakai uang negara (uang
rakyat). Jadi hargai itu dengan kesungguhan kerja. Kalau anda
mengingkarinya, maka itu adalah bentuk pengkhianatan pada rakyat.
Jadi
sekarang bagi mereka yang belum jadi PNS atau yang gagal jadi PNS nggak
usah memble. Hidup bahagia tidak harus jadi PNS. Jadilah apa pun yang
anda mau dan yakinlah itu bisa membuat bahagia. So...Merdekakan dirimu
dari ketakutan tidak bahagia bila tidak jadi PNS. Merdeka!!!!
Tulisan ini telah diterbitkan sebelumnya pada www.kompasiana.com oleh Robbi Gandamana
No comments:
Post a Comment