Krisis Moneter yang berlanjut menjadi Krisis Ekonomi tahun 1997-1998 menjadi sebuah titik tolak dalam kehidupan bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang akhirnya menjadi gejolak multidimensi itu membawa perubahan besar dalam sistem berbangsa dan bernegara. Desentralisasi melalui otonomi daerah, reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, transparansi, kebebasan pers dan terakhir, Demokrasi menjadi rangkaian kebijakan yang menandai berakhirnya sebuah era, dan dimulainya era baru..era reformasi.
Khusus soal demokrasi, hal ini bukanlah barang baru dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan 1945, demokrasi telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan kita, walaupun dengan berbagai nama dan sistem mulai dari Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin hingga Demokrasi Pancasila (yang terbagi menjadi dua masa, demokrasi pancasila era orde baru dan era reformasi).
Meskipun sama-sama bertitel "Demokrasi Pancasila" terdapat perbedaan besar antara orde baru dan reformasi. Banyak sekali "batasan" dalam pelaksanaan demokrasi pancasila era orde baru oleh karenanya lebih sering disebut sebagai demokrasi perwakilan, sedangkan dalam era reformasi justru ditemukan banyak "kebebasan", sehingga disebut sebagai demokrasi langsung. Pada era reformasi mulai dilaksanakanlah pemilihan langsung baik untuk memilih anggota DPR baik pusat maupun daerah, anggota DPD, Presiden dan wapres, bahkan sampai pada pemilihan kepala daerah langsung, yang mustahil ditemukan pada era orde baru.
Demokrasi pancasila versi reformasi sekilas tampak seperti demokrasi liberal ala Amerika Serikat, negara yang ditasbihkan sebagai tanah kelahiran demokrasi, walaupun sebenarnya sistem demokrasi pertama kali dilaksanakan oleh polis di Yunani, salah satunya adalah Athena. Demokrasi di Indonesia bahkan "lebih bebas" dibandingkan dengan Amerika Serikat. Pertama dari jumlah partai politik, secara umum dunia lebih mengetahui jumlah partai politik di Amerika hanya dua, Partai Republik dan Demokrat, walaupun menurut penjelasan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Scot Marciel pada tahun 2012 (news.okezone.com), jumlah partai lain yang lebih kecil dari kedua partai itu juga banyak, karena pada konstitusi Amerika tidak disebutkan jumlah partai peserta pemilu, tapi secara tradisi hanya dua partai yang menguasai pemilu Amerika. Di Indonesia? saya ingat bahwa ada 48 partai peserta pemilu pertama setelah kejatuhan orde baru!!! Memang selanjutnya sampai pemilu terakhir tahun 2014 jumlah partai peserta pemilu menyusut hingga tinggal 12 partai saja, tetap saja jumlah ini lebih spektakuler dibandingkang dengan Amerika Serikat. Bahkan jika dilihat secara tradisi sebagaimana Amerika yang dikuasai dua partai saja, di Indonesia ada sekitar 10 partai yang menguasai parlemen!!!
Hal ini belum termasuk "pesta demokrasi" lain dengan skala lebih kecil dan bersifat regional, seperti pilkada provinsi atau kabupaten, atau bahkan pilkades yang secara tradisional tetap ada pada era orde baru. Pesta Demokrasi di Indonesia bisa dipastikan jauh lebih meriah, lebih semarak, lebih penuh intrik dan drama (bahkan mungkin lebih banyak menghabiskan dana) dibandingkan dengan pesta demokrasi dimanapun di dunia.
Semaraknya pesta demokrasi ini sudah seharusnya berkorelasi secara positif terhadap kualitas pejabat publik dan kinerja pemerintahan di Indonesia. Faktanya, sampai tahun 2014 temuan-temuan yang didapat ICW antara lain bahwa total kasus korupsi
yang terjadi di Indonesia sebanyak 629 kasus dengan jumlah tersangka
mencapai 1328 orang dan menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan
mencapai Rp5,29 triliun (obsessionnews.com). Untuk tingkat kepala daerah, Sepanjang 2004 hingga 2012, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi, ini belum termasuk para wakil rakyat yang proses pemilihannya dilakukan melalui pemilu. Lantas, apa yang salah?
Tentang demokrasi, Hans Kelsen mengatakan, Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang
melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih.
Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan
diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara. Dari definisi ini dapat ditarik sebuah benang merah, bahwa kegagalan pelaksanaan demokrasi yang diindikasikan melalui banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh mereka yang dipilih oleh rakyat, bukanlah seratus persen kesalahan dari para kepala daerah dan wakil rakyat yang tersangkut kasus korupsi. Saya ingat perkataan Bapak Abdullah Hehamahua yang sempat diterbitkan di salah satu harian nasional terbesar di negeri ini, "Kalau Hulu nya baik maka hilirnya pasti baik, sedangkan kalau hulu nya buruk, jangan harap hilirnya akan baik" (kurang lebih seperti itu). Jadi "masalah" terbesar adalah pada para pemilih, karena merekalah yang berperan dalam menjadikan para pejabat yang korup menduduki jabatannya. Oke, menurut survey partai politik adalah salah satu lembaga terkorup di negeri ini, tetapi "hakim" yang tepat untuk parpol adalah masyarakat. Kalau masyarakat kita lebih kritis dan tidak lagi melihat figur atau fanatik terhadap parpol, maka parpol dijamin pasti akan berubah.
Saya tidak mengatakan bahwa masyarakat kita bobrok, masyarakat kita hanya perlu mendapat pencerahan dan pendidikan yang benar. Kita tidak perlu mengatakan bahwa pendidikan politik masyarakat kita perlu ditingkatkan, yang kita butuhkan hanyalah "pendidikan", tanpa "politik". Dengan kapasitas pendidikan yang tinggi, secara otomatis masyarakat kita akan terdidik secara politik.
Jika menengok sejarah awal mula munculnya demokrasi yang terjadi di polis Athena, kita bisa menarik sebuah konklusi. Athena adalah polis yang dikenal dengan kualitas peradaban dan intelektual masyarakatnya yang tinggi. Berbeda dengan polis Sparta yang terkenal dengan kekuatan militernya, Athena adalah penghasil filsuf dan intelektual terkenal macam Plato dan Aristoteles. Sehingga secara tradisi, Athena adalah gudangnya masyarakat intelek. Sehingga wajar sistem demokrasi adalah sistem yang mampu berkembang dengan sangat baik di Athena.
Sementara itu, negara kita, Indonesia masih berupaya terus mengejar ketertinggalan dari negara lain dalam bidang pendidikan. Pola pikir masyarakat yang lebih konsumtif, juga menyebabkan masyarakat lebih serius mengejar materi dibandingkan edukasi. Kalaupun mereka menempuh pendidikan, motivasi utamanya hampir dapat dipastikan pasti demi meraih pendapatan atau peningkatan kesejahteraan setelah lulus. Kondisi ini berdampak luas, kalaupun diadakan penelitian, mungkin bisa ditemukan bahwa tingkat korelasi antara pendidikan formal dan intelektual seseorang akan mengalami penurunan. Kondisi ini bahkan sering saya temui di lingkungan aktivitas saya sehari-hari. Seorang alumni magister misalnya, bisa menjawab sebuah pertanyaan dengan rangkaian kata dan kalimat yang menawan, sampai-sampai dia tidak sadar bahwa jawabannya itu tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh si penanya. Belum lagi ada seseorang dengan tingkat pendidikan formal yang sama dengan orang tersebut, yang bahkan tidak bisa membedakan antara kata "mengacu", "berpedoman" dengan "copy paste", padahal jelas ketiga kata tersebut memiliki perbedaan makna. Keadaan ini sedikit menunjukkan menurunnya tingkat korelasi antara kualitas intelektual dengan tingkat pendidikan formal, yang saya yakini sebagai akibat "salah niat" dalam menempuh pendidikan.
Kembali pada keterkaitan antara demokrasi dan edukasi, tingginya tingkat edukasi secara otomatis akan membuat para pemegang hak pilih tidak lagi asal pilih. Pilihan mereka pasti tidak lagi didasarkan ketertarikan figur, tapi atas kualitas dan kapabilitas, serta ketulusan dalam membangun negeri. Sifat kritis yang menjadi salah satu ciri tingkat intelektualitas seseorang bisa dengan mudah tumbuh, idealisme yang belakangan sudah mulai terkikis di masyarakat kita bisa terbit kembali. Seorang individu yang mencalonkan diri sebagai pejabat atau wakil rakyat tidak lagi hanya bisa mengandalkan kemampuannya dalam mengumpulkan massa. Kita tentu tidak bisa membayangkan tenntunya, jika seorang terpilih menjadi kepala daerah karena faktor "pertemanan". Bisa jadi kelak seorang bos "gangster" yang memiliki ribuan anggota akan memenangkan pemilu, jika pendidikan rakyat kita tidak pada ambang batas yang seharusnya.
Secercah harapan sempat muncul ketika melihat fenomena golput yang selalu meningkat setiap diadakannya pemilihan umum, baik pileg, pilpres ataupun pilkada. Hal ini merupakan tanda kemunculan sikap "penolakan" terhadap kapabilitas dan kualitas peserta pemilu. Akan tetapi fenomena ini tidak bisa terus dipelihara. Kita tidak bisa melakukan perubahan dengan hanya bersikap apatis. "Revolusi Mental" yang sebenar-benar revolusi mutlak diperlukan. Perubahan ke arah yang lebih baik harus tetap diusahakan. Demokrasi mutlak ada, setelah edukasi menunjukkan kinerjanya. Selama edukasi bangsa ini masih dianggap sesuatu yang remeh temeh, sebuah penunjang menuju kesejahteraan ekonomi, jangan pernah berharap "Athena"akan terlahir di Indonesia. Kita tidak akan pernah jadi bangsa yang maju, baik secara sosial, politik ataupun ekonomi, jika edukasi, pendidikan kita tidak pernah maju. Kalaupun sekarang kita menerapkan demokrasi dalam sistem politik negara kita, biarlah ini juga menjadi edukasi politik bagi bangsa kita, sebuah edukasi yang tidak boleh menjadi sebuah pembelajaran tanpa henti. Harus tiba saatnya kita bukan lagi menjadi "pelajar" demokrasi, tetapi menjadi "sarjana" demokrasi.
No comments:
Post a Comment