SIAPA sangka, kekelaman Gotham City berubah menjadi nyata pada tayang perdana Batman: The Dark Knight Rises di ujung pekan lalu! James Eagan Holmes, dengan sejumlah senjata api yang disandangnya, merangsek ke dalam ruang bioskop melalui pintu darurat. Dia melemparkan gas air mata, lalu membawa para penonton ke dalam situasi teror yang sesungguhnya. Belasan tewas, puluhan luka-luka.
Di apartemennya, beberapa jebakan mematikan telah siap menyambut aparat keamanan yang sewaktu-waktu datang. Holmes mempersiapkan diri dengan sangat matang. Saat ditangkap polisi malam itu juga, Holmes tanpa perlawanan "memperkenalkan diri"-nya, "I'm the Joker."
Holmes sesungguhnya "korban" Batman berikutnya. "Korban" pertama adalah Heath Ledger. Aktor Australia yang berperan sebagai Joker itu tewas dalam keadaan overdosis. Tidak ada simpulan pasti tentang jenis kematiannya; bunuh diri atau kecelakaan. Yang jelas, di tubuh Ledger ditemukan empat jenis zat kimiawi kelas berat, kombinasi antara obat tidur, penghilang rasa sakit, dan penangkal kecemasan. Banyak kalangan mengaitkan kematian Ledger, berdasar penyebab kematiannya, dengan kesempurnaan akting Ledger sebagai sosok musuh bebuyutan Batman.
Trilogi Batman -Batman Begins, The Dark Knight, dan The Dark Knight Rises-mengekspos figur Batman yang amat rumit. Dahulu, film-film Batman senantiasa diwarnai dengan kekocakan si manusia kelelawar bersama teman-teman dan para musuhnya. Pada masa-masa itu, walau tidak seteatrikal film-film India, gaya Batman lumayan lebai. Sementara superhero Bollywood sempat-sempatnya berjoget dan berdendang sebelum meringkus penjahat, Batman iseng-isengnya melempar kelakar sebelum membabat bandit.
Namun, kini Batman menjelma sebagai sosok patologis sejati. Simak saja bisikan kejinya, "I won't kill you, but I won't save you." -Aku tidak akan menghabisimu, tapi aku juga takkan menolongmu.-
Dari sisi tampilan luar pun Batman bermetamorfosis. Dulu kostum Batman sangat sederhana dan polos. Warnanya abu-abu atau biru tua. Mitra Batman, Robin, pun ditampilkan warna-warni: baju merah, sayap kuning, dan celana dalam (tanpa celana luar!) hijau. Siapa pun yang mengenakan baju Batman harus punya mental baja. Pasalnya, siapa pun yang melihatnya sangat mungkin akan menatap topeng lalu melompat ke bawah pinggang Batman.
Tapi belakangan, dan kian kentara sekarang, Batman lebih mirip cybernetic organism. Pada 1997, masih terlihat upaya menonjolkan sisi manusia Batman lewat kostumnya. Terbukti, biarpun sudah menyerupai mesin, di dada Batman masih terdapat puting.
Bandingkan seragam kebesaran Batman dengan pakaian Superman dan Spiderman. Dua nama terakhir tidak neko-neko berbusana. Perubahannya minim. Batman yang paling ekstrem.
Mengenang pepatah Batman, "It's not who I am underneath, but what I do that defines me", seakan Batman ingin mengatakan bahwa siapa yang ada di dalam dirinya tak lagi penting. Tak lagi penting karena sudah rusak, cacat, berserak, tercabik-cabik. Tinggal lagi sisi luar yang patut dihiraukan. Ketika tampilan luar Batman sudah kian non-manusia, karena dari ujung kepala sampai ujung kaki dicanteli perlengkapan tempur, dapat dipahami ketika suatu ketika -mungkin keceplosan- Batman menyebut dirinya bukan dengan kata ganti manusia, yakni Iataupun me, melainkan mengidentifikasi dirinya sendiri dengan makhluk tak hidup - it.
Menjadi pertanyaan, mengapa Batman dan Joker tak pernah saling membunuh? Masing-masing pernah punya kesempatan emas untuk saling mematikan dengan cara mudah, tapi keduanya ternyata tetap bernyawa.
"Keabadian" Batman-Joker teraba-rasa lebih mendalam ketimbang Superman-Lex Luthor. Batman dan Joker, dari kacamata psikoanalisis, adalah satu jiwa. Pembeda keduanya hanya di topeng. Andai Batman menanggalkan topengnya, akan terpampang seringai Joker. Jika Joker mengenakan topeng, akan menjelma sosok Batman. Topeng mirip kelelawar itu sebatas kevlar, dulunya kain, tapi itulah perbatasan antara kebaikan dan kemungkaran.
Kostum Batman serta gincu dan pupur Joker dikemas semakin mengada-ada. Tapi, secara keseluruhan, diakui ataupun tidak, kepribadian keduanya, ditambah warna tanpa harapan Kota Gotham, terasa lebih identik dengan dunia yang sesungguhnya. Akibatnya, betapapun Batman dan Joker lebih patologis, mereka memiliki daya ilham yang lebih kuat.
Persoalannya, melakukan sublimasi terhadap trauma -seperti yang Batman lakukan- jauh lebih sulit ketimbang memuntahkan mentah-mentah segala sensasi negatif yang dihasilkan oleh berbagai luka dan derita psikis. Dengan kata lain, menjadi Batman jauh lebih payah daripada menjadi Joker. Apalagi, agar bisa menjadi Batman, siapa pun harus ekstrakaya raya terlebih dahulu. Sementara untuk menjadi Joker, cukup terbiarkan sebagai sampah sembari terus memupuk rasa sakit hati. Memparafrase kata-kata Joker; untuk naik, kita harus melawan gravitasi. Sedangkan turun, kita akan terempas secara alami.
Tengoklah faktanya. Hingga kini, setidaknya sudah ada dua "korban" Batman. Mereka adalah Ledger dan Holmes, dua orang di atas rata-rata yang dengan begitu gampangnya binasa dan membinasakan. Mereka adalah representasi Joker Amerika.
Indonesia, sangat mungkin, menjadi Gotham versi nyata. Korupsi merajalela. Kerusakan lingkungan tak tertahankan. Dalam situasi yang sudah semakinGothamic ini, semakin mudah pula patologi menjadi endemi. Dari situ, sekali lagi, Joker-Joker versi dalam negeri akan lebih mudah bersemi. Penyuburnya, belajar dari Ledger dan Holmes, adalah pesatnya pasar narkoba serta makin gampangnya siapa pun memiliki senjata.
Tinggal lagi kita menantikan "Batman" tiba. Kapan itu? Manakala aparat hukum telah putus asa dan mengakui ketidakberdayaan mereka, hati-hati, Batman dan Joker adalah jiwa yang sama....
ditulis oleh : Reza Indragiri Amriel
diterbitkan pertama kali di Jawa Pos, edisi 23 Juli 2012
No comments:
Post a Comment