Monday 29 February 2016

Menjadikan "The Death of Samurai" Sebagai Pembelajaran





Tersiarnya kabar penutupan pabrik Toshiba dan Panasonic di Indonesia beberapa waktu lalu membuat artikel yang pernah ditulis oleh Bung Yodhia Antariksa di blognya strategimanajemen pada tanggal 3 September 2012 dengan judul "The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba, dan Sanyo" menjadi populer. 

Begitu populernya banyak orang bahkan menjadi lupa kalau tulisan itu sudah berumur lebih dari 3 tahun. Meski pada akhirnya artikel terebut mengundang banyak pro kontra di berbagai kalangan, saya pribadi setuju dengan analisa sebab akibat yang diutarakan penulis. Terlepas dari keakuratan data dan unsur subjektifitas yang dicurigai oleh beberapa orang yang tidak sependapat dengannya, 3 kondisi yang dianggap sebagai pemicu keruntuhan industri elektronik Jepang tersebut sebenarnya menjadi sesuatu yang patut diwaspadai. Ketiga kondisi terebut, Harmony Culture Error, Seniority Error, dan Old Nation Error kalaupun diragukan telah mampu menjatuhkan industri elektronika jepang, sesungguhnya bisa menghancurkan sistem birokrasi suatu negara, seperti Indonesia. 

Harmony Culture Error, dalam harmony culture error Yodhia Antariksa menganggap kondisi ini menyebabkan manajemen perusahaan elektronik jepang menjadi lamban dalam mengambil keputusan. Bayangkan bila kondisi ini terjadi pada sistem birokrasi kita, sistem birokrasi yang lamban dalam bertindak adalah malapetaka bagi masyarakat. Yang terjadi adalah birokrasi yang "hanya" akan bertindak bila suatu kejadian telah terjadi, bukan berupaya mengantisipasi terjadinya suatu permasalahan. Memang tidak semua permasalahan bisa diprediksi sebelumnya, akan tetapi banyak permasalahan yang bisa diprediksi dan dicegah dampak buruk yang akan ditimbulkannya. 

Di Indonesia, kondisi ini juga sering ditemui dalam pelaksanaan pembangunan. Proses pembangunan di Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 diawali melalui kegiatan musrenbang yang dilaksanakan pada triwulan pertama pada 1 tahun sebelum tahun anggaran pelaksanaan pembangunan. Jadi untuk tahun anggaran 2016, pelaksanaan musrenbang dilakukan pada bulan Januari-Maret Tahun 2015! Bagi masyarakat yang awam terhadap proses administrasi pemerintahan, sudah pasti mereka akan mengatakan kinerja pemerintah sangat sangat lambat. 

Belum lagi jika dihadapkan pada fakta bahwa hasil musrenbang tentunya tidak mampu mengakomodir kondisi terkini yang terjadi pada akhir tahun menjelang pelaksanaan hasil musrenbang. Misalnya, jika terjadi jembatan putus pada bulan Desember 2015, jembatan permanen baru bisa dibangun pada Tahun 2017 atau paling cepat pada perubahan anggaran 2016, itupun dengan kondisi ketersediaan dana yang tidak sebanyak pada awal tahun anggaran. 

Seniority Error, menurut yodha antariksa, "Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan. Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan. 

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman. Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati." 

Bagaimana jika kondisi ini terjadi di birokrasi Indonesia? hasilnya sama saja, kematian inovasi. Dan birokrasi tanpa inovasi adalah birokrasi yang kuno, yang hanya menjadi beban negara dan menghambat kemajuan suatu bangsa. Bagaimana mungkin suatu pemerintah mampu memerintah rakyatnya jikalau mereka sendiri kalah maju, kalah canggih dibanding rakyatnya sendiri. Kondisi demikian bisa terjadi di Indonesia, mengingat senioritas adalah sesuatu yang terus dipelihara eksistensinya dalam sistem birokrasi kita. 

Sama seperti artikel bung Yodha Antariksa, di birokrasi Indonesia sistem promosi masih menggunakan sistem karier, yang berarti pangkat dan golongan, dan masa kerja adalah pertimbangan utama dalam promosi pegawai. Daftar urut Kepangkatan tetap menjadu acuan utama dalam menentukan promosi. Bahkan di beberapa instansi masih memberikan "prioritas" kepada sisi loyalitas semu daripada kompetensi untuk pemberian promosi pegawai (dalam pandangan saya, loyalitas memang syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang birokrat, akan tetapi loyalitas disini adalah loyalitas kepada negara dan pemerintah, bukan loyalitas semu yang ditujukan kepada individu tertentu, misal atasannya). 

Old Nation Error, mungkin dari ketiga faktor yang ada, faktor ini adalah yang faktor mungkin masih belum terjadi di Indonesia dalam waktu dekat. Jumlah penduduk yang tinggi, angka kelahiran yang tidak pernah menurun tentu berbeda dengan kondisi yang terjadi di Jepang. Bahkan Pemerintah mencanangkan slogan "Generasi Emas 2045" sebagai dampak dari adanya bonus demografi. Akan tetapi hal ini akan menjadi kabar buruk, jika banyak generasi muda yang enggan berpartisipasi dalam pemerintahan. Ataupun mereka yang sebenarnya berkualitas tetapi tidak "diijinkan" ikut andil dalam pemerintahan karena faktor "X". Sikap apatis generasi muda terhadap negara dan pemerintahnnya menjadi dampak yang harus ditanggung oleh kita semua. Jika hal tersebut terjadi, maka old nation error akan benar-benar terjadi justru saat kita menyongsong datangnya generasi emas. 

Data dasar artikel Yodha Antariksa memang tetap menjadi sesuatu yang kontroversial, tetapi analisanya terhadap tiga faktor yang menjadi penyebab keruntuhan suatu organisasi adalah nyata. Kalaupun kebenaran dari data yang disampaikan yang bersangkutan kurang tepat, setidaknya apa yang ditulis oleh beliau bisa menjadi peringatan dan pembelajaran bagi kita semua. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kemajuan masyarakatnya, akan tetapi kemajuan masyarakat tidak akan berdampak apapun jika pemerintah dan seluruh aparatnya tidak mampu memajukan dirinya sendiri.


Artikel ini saya terbitkan pertama kali pada http://www.kompasiana.com/alfian_r/menjadikan-the-death-of-samurai-sebagai-pembelajaran_56c18989f47a61341e8d3ae7
 

Monday 4 January 2016

Batman-Joker Itu Nyata

SIAPA sangka, kekelaman Gotham City berubah menjadi nyata pada tayang perdana Batman: The Dark Knight Rises di ujung pekan lalu! James Eagan Holmes, dengan sejumlah senjata api yang disandangnya, merangsek ke dalam ruang bioskop melalui pintu darurat. Dia melemparkan gas air mata, lalu membawa para penonton ke dalam situasi teror yang sesungguhnya. Belasan tewas, puluhan luka-luka.

Di apartemennya, beberapa jebakan mematikan telah siap menyambut aparat keamanan yang sewaktu-waktu datang. Holmes mempersiapkan diri dengan sangat matang. Saat ditangkap polisi malam itu juga, Holmes tanpa perlawanan "memperkenalkan diri"-nya, "I'm the Joker."

Holmes sesungguhnya "korban" Batman berikutnya. "Korban" pertama adalah Heath Ledger. Aktor Australia yang berperan sebagai Joker itu tewas dalam keadaan overdosis. Tidak ada simpulan pasti tentang jenis kematiannya; bunuh diri atau kecelakaan. Yang jelas, di tubuh Ledger ditemukan empat jenis zat kimiawi kelas berat, kombinasi antara obat tidur, penghilang rasa sakit, dan penangkal kecemasan. Banyak kalangan mengaitkan kematian Ledger, berdasar penyebab kematiannya, dengan kesempurnaan akting Ledger sebagai sosok musuh bebuyutan Batman.

Trilogi Batman -Batman Begins, The Dark Knight, dan The Dark Knight Rises-mengekspos figur Batman yang amat rumit. Dahulu, film-film Batman senantiasa diwarnai dengan kekocakan si manusia kelelawar bersama teman-teman dan para musuhnya. Pada masa-masa itu, walau tidak seteatrikal film-film India, gaya Batman lumayan lebai. Sementara superhero Bollywood sempat-sempatnya berjoget dan berdendang sebelum meringkus penjahat, Batman iseng-isengnya melempar kelakar sebelum membabat bandit.

Namun, kini Batman menjelma sebagai sosok patologis sejati. Simak saja bisikan kejinya, "I won't kill you, but I won't save you." -Aku tidak akan menghabisimu, tapi aku juga takkan menolongmu.-

Dari sisi tampilan luar pun Batman bermetamorfosis. Dulu kostum Batman sangat sederhana dan polos. Warnanya abu-abu atau biru tua. Mitra Batman, Robin, pun ditampilkan warna-warni: baju merah, sayap kuning, dan celana dalam (tanpa celana luar!) hijau. Siapa pun yang mengenakan baju Batman harus punya mental baja. Pasalnya, siapa pun yang melihatnya sangat mungkin akan menatap topeng lalu melompat ke bawah pinggang Batman.

Tapi belakangan, dan kian kentara sekarang, Batman lebih mirip cybernetic organism. Pada 1997, masih terlihat upaya menonjolkan sisi manusia Batman lewat kostumnya. Terbukti, biarpun sudah menyerupai mesin, di dada Batman masih terdapat puting.

Bandingkan seragam kebesaran Batman dengan pakaian Superman dan Spiderman. Dua nama terakhir tidak neko-neko berbusana. Perubahannya minim. Batman yang paling ekstrem.

Mengenang pepatah Batman, "It's not who I am underneath, but what I do that defines me", seakan Batman ingin mengatakan bahwa siapa yang ada di dalam dirinya tak lagi penting. Tak lagi penting karena sudah rusak, cacat, berserak, tercabik-cabik. Tinggal lagi sisi luar yang patut dihiraukan. Ketika tampilan luar Batman sudah kian non-manusia, karena dari ujung kepala sampai ujung kaki dicanteli perlengkapan tempur, dapat dipahami ketika suatu ketika -mungkin keceplosan- Batman menyebut dirinya bukan dengan kata ganti manusia, yakni Iataupun me, melainkan mengidentifikasi dirinya sendiri dengan makhluk tak hidup - it.

Menjadi pertanyaan, mengapa Batman dan Joker tak pernah saling membunuh? Masing-masing pernah punya kesempatan emas untuk saling mematikan dengan cara mudah, tapi keduanya ternyata tetap bernyawa.

"Keabadian" Batman-Joker teraba-rasa lebih mendalam ketimbang Superman-Lex Luthor. Batman dan Joker, dari kacamata psikoanalisis, adalah satu jiwa. Pembeda keduanya hanya di topeng. Andai Batman menanggalkan topengnya, akan terpampang seringai Joker. Jika Joker mengenakan topeng, akan menjelma sosok Batman. Topeng mirip kelelawar itu sebatas kevlar, dulunya kain, tapi itulah perbatasan antara kebaikan dan kemungkaran.

Kostum Batman serta gincu dan pupur Joker dikemas semakin mengada-ada. Tapi, secara keseluruhan, diakui ataupun tidak, kepribadian keduanya, ditambah warna tanpa harapan Kota Gotham, terasa lebih identik dengan dunia yang sesungguhnya. Akibatnya, betapapun Batman dan Joker lebih patologis, mereka memiliki daya ilham yang lebih kuat.

Persoalannya, melakukan sublimasi terhadap trauma -seperti yang Batman lakukan- jauh lebih sulit ketimbang memuntahkan mentah-mentah segala sensasi negatif yang dihasilkan oleh berbagai luka dan derita psikis. Dengan kata lain, menjadi Batman jauh lebih payah daripada menjadi Joker. Apalagi, agar bisa menjadi Batman, siapa pun harus ekstrakaya raya terlebih dahulu. Sementara untuk menjadi Joker, cukup terbiarkan sebagai sampah sembari terus memupuk rasa sakit hati. Memparafrase kata-kata Joker; untuk naik, kita harus melawan gravitasi. Sedangkan turun, kita akan terempas secara alami.

Tengoklah faktanya. Hingga kini, setidaknya sudah ada dua "korban" Batman. Mereka adalah Ledger dan Holmes, dua orang di atas rata-rata yang dengan begitu gampangnya binasa dan membinasakan. Mereka adalah representasi Joker Amerika.

Indonesia, sangat mungkin, menjadi Gotham versi nyata. Korupsi merajalela. Kerusakan lingkungan tak tertahankan. Dalam situasi yang sudah semakinGothamic ini, semakin mudah pula patologi menjadi endemi. Dari situ, sekali lagi, Joker-Joker versi dalam negeri akan lebih mudah bersemi. Penyuburnya, belajar dari Ledger dan Holmes, adalah pesatnya pasar narkoba serta makin gampangnya siapa pun memiliki senjata.

Tinggal lagi kita menantikan "Batman" tiba. Kapan itu? Manakala aparat hukum telah putus asa dan mengakui ketidakberdayaan mereka, hati-hati, Batman dan Joker adalah jiwa yang sama....


ditulis oleh : Reza Indragiri Amriel
diterbitkan pertama kali di Jawa Pos, edisi 23 Juli 2012

Monday 21 December 2015

Demokrasi..?? Belum, Edukasi Dulu!!!

Krisis Moneter yang berlanjut menjadi Krisis Ekonomi tahun 1997-1998 menjadi sebuah titik tolak dalam kehidupan bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang akhirnya menjadi gejolak multidimensi itu membawa perubahan besar dalam sistem berbangsa dan bernegara. Desentralisasi melalui otonomi daerah, reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, transparansi, kebebasan pers dan terakhir, Demokrasi menjadi rangkaian kebijakan yang menandai berakhirnya sebuah era, dan dimulainya era baru..era reformasi.
Khusus soal demokrasi, hal ini bukanlah barang baru dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sejak proklamasi kemerdekaan 1945, demokrasi telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan kita, walaupun dengan berbagai nama dan sistem mulai dari Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin hingga Demokrasi Pancasila (yang terbagi menjadi dua masa, demokrasi pancasila era orde baru dan era reformasi).
Meskipun sama-sama bertitel "Demokrasi Pancasila" terdapat perbedaan besar antara orde baru dan reformasi. Banyak sekali "batasan" dalam pelaksanaan demokrasi pancasila era orde baru oleh karenanya lebih sering disebut sebagai demokrasi perwakilan, sedangkan dalam era reformasi justru ditemukan banyak "kebebasan", sehingga disebut sebagai demokrasi langsung. Pada era reformasi mulai dilaksanakanlah pemilihan langsung baik untuk memilih anggota DPR baik pusat maupun daerah, anggota DPD, Presiden dan wapres, bahkan sampai pada pemilihan kepala daerah langsung, yang mustahil ditemukan pada era orde baru.
Demokrasi pancasila versi reformasi sekilas tampak seperti demokrasi liberal ala Amerika Serikat, negara yang ditasbihkan sebagai tanah kelahiran demokrasi, walaupun sebenarnya sistem demokrasi pertama kali dilaksanakan oleh polis di Yunani, salah satunya adalah Athena. Demokrasi di Indonesia bahkan "lebih bebas" dibandingkan dengan Amerika Serikat. Pertama dari jumlah partai politik, secara umum dunia lebih mengetahui jumlah partai politik di Amerika hanya dua, Partai Republik dan Demokrat, walaupun menurut penjelasan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Scot Marciel pada tahun 2012 (news.okezone.com), jumlah partai lain yang lebih kecil dari kedua partai itu juga banyak, karena pada konstitusi Amerika tidak disebutkan jumlah partai peserta pemilu, tapi secara tradisi hanya dua partai yang menguasai pemilu Amerika. Di Indonesia? saya ingat bahwa ada 48 partai peserta pemilu pertama setelah kejatuhan orde baru!!! Memang selanjutnya sampai pemilu terakhir tahun 2014 jumlah partai peserta pemilu menyusut hingga tinggal 12 partai saja, tetap saja jumlah ini lebih spektakuler dibandingkang dengan Amerika Serikat. Bahkan jika dilihat secara tradisi sebagaimana Amerika yang dikuasai dua partai saja, di Indonesia ada sekitar 10 partai yang menguasai parlemen!!!
Hal ini belum termasuk "pesta demokrasi" lain dengan skala lebih kecil dan bersifat regional, seperti pilkada provinsi atau kabupaten, atau bahkan pilkades yang secara tradisional tetap ada pada era orde baru. Pesta Demokrasi di Indonesia bisa dipastikan jauh lebih meriah, lebih semarak, lebih penuh intrik dan drama (bahkan mungkin lebih banyak menghabiskan dana) dibandingkan dengan pesta demokrasi dimanapun di dunia.
Semaraknya pesta demokrasi ini sudah seharusnya berkorelasi secara positif terhadap kualitas pejabat publik dan kinerja pemerintahan di Indonesia. Faktanya, sampai tahun 2014  temuan-temuan yang didapat ICW antara lain bahwa total kasus korupsi yang terjadi di Indonesia sebanyak 629 kasus dengan jumlah tersangka mencapai 1328 orang dan menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp5,29 triliun (obsessionnews.com). Untuk tingkat kepala daerah, Sepanjang 2004 hingga 2012, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 277 gubernur, wali kota, atau bupati yang terlibat kasus korupsi, ini belum termasuk para wakil rakyat yang proses pemilihannya dilakukan melalui pemilu. Lantas, apa yang salah?
Tentang demokrasi, Hans Kelsen mengatakan, Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara. Dari definisi ini dapat ditarik sebuah benang merah, bahwa kegagalan pelaksanaan demokrasi yang diindikasikan melalui banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh mereka yang dipilih oleh rakyat, bukanlah seratus persen kesalahan dari para kepala daerah dan wakil rakyat yang tersangkut kasus korupsi. Saya ingat perkataan Bapak Abdullah Hehamahua yang sempat diterbitkan di salah satu harian nasional terbesar di negeri ini, "Kalau Hulu nya baik maka hilirnya pasti baik, sedangkan kalau hulu nya buruk, jangan harap hilirnya akan baik" (kurang lebih seperti itu). Jadi "masalah" terbesar adalah pada para pemilih, karena merekalah yang berperan dalam menjadikan para pejabat yang korup menduduki jabatannya. Oke, menurut survey partai politik adalah salah satu lembaga terkorup di negeri ini, tetapi "hakim" yang tepat untuk parpol adalah masyarakat. Kalau masyarakat kita lebih kritis dan tidak lagi melihat figur atau fanatik terhadap parpol, maka parpol dijamin pasti akan berubah.
Saya tidak mengatakan bahwa masyarakat kita bobrok, masyarakat kita hanya perlu mendapat pencerahan dan pendidikan yang benar. Kita tidak perlu mengatakan bahwa pendidikan politik masyarakat kita perlu ditingkatkan, yang kita butuhkan hanyalah "pendidikan", tanpa "politik". Dengan kapasitas pendidikan yang tinggi, secara otomatis masyarakat kita akan terdidik secara politik.
Jika menengok sejarah awal mula munculnya demokrasi yang terjadi di polis Athena, kita bisa menarik sebuah konklusi. Athena adalah polis yang dikenal dengan kualitas peradaban dan intelektual masyarakatnya yang tinggi. Berbeda dengan polis Sparta yang terkenal dengan kekuatan militernya, Athena adalah penghasil filsuf dan intelektual terkenal macam Plato dan Aristoteles. Sehingga secara tradisi, Athena adalah gudangnya masyarakat intelek. Sehingga wajar sistem demokrasi adalah sistem yang mampu berkembang dengan sangat baik di Athena.
Sementara itu, negara kita, Indonesia masih berupaya terus mengejar ketertinggalan dari negara lain dalam bidang pendidikan. Pola pikir masyarakat yang lebih konsumtif, juga menyebabkan masyarakat lebih serius mengejar materi dibandingkan edukasi. Kalaupun mereka menempuh pendidikan, motivasi utamanya hampir dapat dipastikan pasti demi meraih pendapatan atau peningkatan kesejahteraan setelah lulus. Kondisi ini berdampak luas, kalaupun diadakan penelitian, mungkin bisa ditemukan bahwa tingkat korelasi antara pendidikan formal dan intelektual seseorang akan mengalami penurunan. Kondisi ini bahkan sering saya temui di lingkungan aktivitas saya sehari-hari. Seorang alumni magister misalnya, bisa menjawab sebuah pertanyaan dengan rangkaian kata dan kalimat yang menawan, sampai-sampai dia tidak sadar bahwa jawabannya itu tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh si penanya. Belum lagi ada seseorang dengan tingkat pendidikan formal yang sama dengan orang tersebut, yang bahkan tidak bisa membedakan antara kata "mengacu", "berpedoman" dengan "copy paste", padahal jelas ketiga kata tersebut memiliki perbedaan makna. Keadaan ini sedikit menunjukkan menurunnya tingkat korelasi antara kualitas intelektual dengan tingkat pendidikan formal, yang saya yakini sebagai akibat "salah niat" dalam menempuh pendidikan.
Kembali pada keterkaitan antara demokrasi dan edukasi, tingginya tingkat edukasi secara otomatis akan membuat para pemegang hak pilih tidak lagi asal pilih. Pilihan mereka pasti tidak lagi didasarkan ketertarikan figur, tapi atas kualitas dan kapabilitas, serta ketulusan dalam membangun negeri. Sifat kritis yang menjadi salah satu ciri tingkat intelektualitas seseorang bisa dengan mudah tumbuh, idealisme yang belakangan sudah mulai terkikis di masyarakat kita bisa terbit kembali. Seorang individu yang mencalonkan diri sebagai pejabat atau wakil rakyat tidak lagi hanya bisa mengandalkan kemampuannya dalam mengumpulkan massa. Kita tentu tidak bisa membayangkan tenntunya, jika seorang terpilih menjadi kepala daerah karena faktor "pertemanan". Bisa jadi kelak seorang bos "gangster" yang memiliki ribuan anggota akan memenangkan pemilu, jika pendidikan rakyat kita tidak pada ambang batas yang seharusnya.
Secercah harapan sempat muncul ketika melihat fenomena golput yang selalu meningkat setiap diadakannya pemilihan umum, baik pileg, pilpres ataupun pilkada. Hal ini merupakan tanda kemunculan sikap "penolakan" terhadap kapabilitas dan kualitas peserta pemilu. Akan tetapi fenomena ini tidak bisa terus dipelihara. Kita tidak bisa melakukan perubahan dengan hanya bersikap apatis. "Revolusi Mental" yang sebenar-benar revolusi mutlak diperlukan. Perubahan ke arah yang lebih baik harus tetap diusahakan. Demokrasi mutlak ada, setelah edukasi menunjukkan kinerjanya. Selama edukasi bangsa ini masih dianggap sesuatu yang remeh temeh, sebuah penunjang menuju kesejahteraan ekonomi, jangan pernah berharap "Athena"akan terlahir di Indonesia. Kita tidak akan pernah jadi bangsa yang maju, baik secara sosial, politik ataupun ekonomi, jika edukasi, pendidikan kita tidak pernah maju. Kalaupun sekarang kita menerapkan demokrasi dalam sistem politik negara kita, biarlah ini juga menjadi edukasi politik bagi bangsa kita, sebuah edukasi yang tidak boleh menjadi sebuah pembelajaran tanpa henti. Harus tiba saatnya kita bukan lagi menjadi "pelajar" demokrasi, tetapi menjadi "sarjana" demokrasi.

Tuesday 8 December 2015

The Majesty

In Court, we called the judge with  respectful mention : The Majesty. Why? cause the judge is a person who authorized to execute half of God's authority. He given the right to punish or excuse. Then, person with that authority, he really become honored person, and because of that he worthy of respected.
In our live we often enriched by the story about the fair judges in taking decision, but full of mercy to them who persecuted and talk about the truth. One of it is classical story about Judge Bao.
His full name is Bao Zheng, He lived on Song's Dinasty era an because of his honesty, he got a nickname Bao Qingtan or Bao the blue sky.
But, Bao not only honest. He was a brave. One day Judge Bao given the death penalty for King's law. His decision got hard refusal from the queen and of course, her cronies. Bao was condemned by them. But, Bao insist with his decision. " The King's family and the people have a same place under the law. So they must submit on the nation's law." said Bao.
The consequences he was wounded by intimidation. If now here, probably he was be called by the special commitee. But he encounter all of the treat. The King's law still executed.
I'm proud that we ever have some honored judges, like Bismar Siregar and Yahya Harahap, that their decision really create sense of justice. Also Benyamin Mangkudilaga who brave rejected the bribe.
Bribe and temptation
We certain want to have the judges like Judge Bao, Bismar, Yahya or Benyamin. Not only judge, but also ministry, members of the house of representative, teacher, lecturer, reporter, CEO, businessman and another enforcement agencies of truth.
Brave, fair, firm and full of mercy for the weak and suppressed. Not fear with intimidation, lost everything, especially just the chair, resist the temptation and can't be bribe. Talk about temptation and bribe, my hair creeps suddenly when we called the word "The Majesty" on our judges lately. Cause, recently a judge of National Administration Court on West Sumatra Province arrested when he was taking drug with a police from that local police department. On Bengkulu province, a judge also be arrested caused proven taking drug. Even in sibolga, North Sumatra Province, a judge arrested by people when he was taking drug with his illegal girlfriend. What a mad!! Then and unless mad again, still on North Sumatra, a drug user, lets called him Ucok, be a judge to arbitrate a drug case too. The case of Judge Ucok is very complicated. He was received drug from the convict who the case was under his decision. Ucok is not only know, he was owe to that convict. That convict was save ucok from the people's angry cause people took ucok alone together with a woman who not his wife in his official residence.
Recently still crowded on news about a judge who was accepted bribe from a famous lawyer. It's so complicated cause many official suspected of being involved.
Are you willing to called The Majesy to ucok and the judges who was accepted something to making decision in our case? Once again, are you willing called that judges "The Majesty"?
Jokes
But apparently that is not low enough. The word "Majesty" really get on lowest point. Why? I was heard it accidentally. One of the radio station in Jakarta, have a regular program that accomodate the people's opinion. That day topic was assembly of the Court Of Council Honor that was occured on two days, wednesday and thursday (2nd-3rd Dec, 2015). During that program, the listener called the presenter "The Majesty" with a pleasured. Otherwise, the presenter also called the people who was submitted their opinion by title "The Majesty". The tone, you certain know, full of jokes. I was laughed to hear it, but also concerned. 
If the annoyed is very high, but so powerless, our people became powerfull to making jokes. But i believes it's just temporary, finally they will be do something very great if they still silence of that.
The other popular expression is meme (read, mim). Try to click, you will easily to found meme contain the jokes about the assembly of the Court of Council Honor. I guarantee, minimally you will be smiles by yourself. 
Although smile, my heart was so pour. We should use the word "The Majesty" to express sense of respect for someone, no used to express the otherwise. A foolish figure, disgusting, shame, and "two-bit" showing their stupidity is really not worthy to get honor with the called "The Majesty".
More shame again, they wear red and white tuxedo. I do not willing that the colors of our flag wearing by that persons.
I hope what was showed by the "Majesty" on assembly of The Court of  Council Honor not made us skeptic and finally look down on the judge. Cause still a lotof judges who still good and worth to bear the word "Majesty"
But i'm sorry, not who talk nonsense in this assembly. Not wrong of the "Majesty" name, but they was not worth to get this called.

Author : Rhenald Khasali, published on Jawa Pos, 8th December, 2015.
translate on english by : Alfian Rosiadi





Monday 7 December 2015

Sehebat-hebatnya Head Coach, Dia "Hanya" Berada di Luar Lapangan

Siapa yang tak kenal dengan The Special One Jose Mourinho? siapa juga yang meragukan kejeniusan Don Carletto Carlo Ancelotti? Di tataran tim nasional negara "kelas dua"populer nama Bora Milutinovic dimana di bawah asuhannya tim nasional China berhasil lolos ke Piala Dunia 2002. Selain itu ada pula nama Fabio Capello, Sir Alex Ferguson, Arsene Wenger, Rafael Benitez, Vicente Del Bosque, Marcello Lippi, Jurgen Klopp, Joachim Loew dan banyak lagi individu yang dikenal karena kehebatannya sebagai pelatih sepakbola atau Head Coach.
Beberapa Head Coach terbaik di dunia juga dikenal dengan kepiawaiannya sebagai pemain sepakbola di masa mudanya, meskipun sebagian lainnya tidak memiliki prestasi mencolok saat masih berkarir di lapangan hijau. Karena status sebagai pemain terbaik tidak menjamin seseorang juga akan mendapat label yang sama saat beralih profesi menjadi seorang Head Coach. Head Coach dan player adalah dua hal yang sangat jelas berbeda.
Head Coach adalah seorang perencana, juru taktik, ahli strategi yang akan menentukan arah permainan dari sebuah tim. Dari kepalanya-lah tersusun berjuta-juta skenario dalam suatu pertandingan sepakbola.Tanpa seorang Head Coach yang handal mungkin tak pernah tercipta total football, cattenaccio, kick 'n rush, tiki-taka ataupun text book ala Der Panzer. Seorang Lionel Messi ataupun Cristiano Ronaldo mungkin juga tak akan sehebat sekarang jika tidak pernah dilatih oleh pelatih-pelatih hebat dalam sepanjang perjalanan karir mereka. Head Coach adalah kunci dalam sepakbola. Tanpanya sepakbola mungkin hanya sekedar permainan anak-anak. Tidak lebih.
Akan tetapi sebesar apapun peran seorang head coach, dia tetap hanya akan berada di luar lapangan, selamanya. Bahkan dalam rules of the game, peran dan lokasi seorang head coach dibatasi dalam sebuah area teknik di tepi lapangan. Tanpa perlu masuk lapangan pertandingan, head coach bisa saja langsung diusir wasit jika ia berada di luar technical area tersebut. Sehebat dan sepintar apapun head coach tetap saja dia tidak memiliki license untuk masuk ke dalam lapangan. Dia tetap harus menjadi figur di balik layar dan di tepi lapangan.

Sunday 27 September 2015

Tiket Online Bus Antarkota, mungkinkah?

Sidoarjo - Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan melakukan sidak di Terminal Bungurasih Sidoarjo. Menhub minta agar kondisi terminal terbesar di Jatim ini dibenahi.
Saat datang pukul 08.00 WIB, Jumat (26/6/2015), Menhub melihat secara langsung belasan sopir bus melakukan tes Urine di depan kantor Pengaturan perjalanan Bus antar kota.
Di Bungurasih, Jonan melihat secara langsung pembangunan beberapa bagian terminal yang belum selesai, yakni ruang tunggu penumpang yang berada di lantai 2. Menhub minta agar pembangunan segera diselesaikan agar arus menumpang bisa tertata lebih baik.
"Terminal Bungurasih ini untuk segera diselesaikan dan untuk dirapikan, harus ada target bahwa terminal ini agar secepatnya lebih baik. Masak kalah dengan stasiun kereta api," ujar Menhub Jonan.
Jonan berharap, paling lambat 2016 kondisi Terminal Bungurasih sudah rapi, dan ruang tunggu penumpang juga tertata dengan baik. "Kalau perlu tiketnya itu menggunakan sistem online, agar penumpang disini sudah mendapatkan tiket, tinggal naik bus saja," ujar Jonan.
Jonan menambahkan, menjelang lebaran pihaknya tengah fokus terhadap Kelaikan, armada, keselamatan dan volume penumpang. "Dishub akan meningkatkan pelayanan ke pada masyarakat, dan keselamatan pada masyaraakat yang akan menggunakan jasa tranpotasi darat, laut, udara," jelasnya. 

dikutip dari  http://news.detik.com/berita-jawa-timur/2953043/sidak-terminal-bungurasih-menhub-jonan-minta-kondisi-terminal-dibenahi
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, sumber : vivanews.com

Potongan berita di atas memang sudah agak lama, diterbitkan bulan juni dalam rangka persiapan pelaksanaan arus mudik dan balik tahun 2015. Akan tetapi ada hal yang menarik perhatian saya dan terus menggelayuti pikiran saya sepanjang hari, hahahahaha... Pada tulisan kali ini saya hanya akan membahas tentang statement menteri perhubungan terkait dengan tiket online bus antar kota (lihat tulisan yang dicetak tebal dan digaris bawah pada potongan berita di atas).

Seperti kita ketahui, selama ini tiket bus antar kota baik dalam maupun antar propinsi selalu diberikan melalui proses manual. Ada yang diberikan langsung oleh kondektur di atas bus, ada juga yang melalui agen yang telah ditunjuk atau bekerjasama dengan PO yang bersangkutan. Memang jelas berbeda dengan yang ada di moda transportasi kereta api, dimana tiket selalu diperoleh calon penumpang terlebih dahulu sebelum menggunakan jasa pengangkutannya. Pada bus antar kota hal ini kadang membuat penumpang baru mengetahui tarif bus bersangkutan setelah naik, ini mejadikan peluang terjadinya kecurangan dan kenakalan oknum kru dalam mempermainkan tarif. Memang pada PO yang bonafide, dipasang pula stiker tarif bus sesuai jurusan pada bagian dalam bus. Tetapi banyak juga PO yang belum melakukan hal ini, bahkan ada beberapa PO yang tidak memberikan tiket kepada penumpangnya. Jika melihat kondisi ini, saya pikir arahan Menteri Jonan terkait tiket online sangat wajar dan mendesak untuk segera dilaksanakan. Apalagi jika melihat bagaimana sistem perbaikan ticketing pada PT. KAI berhasil dieksekusi dengan sempurna. Akan tetapi perlu dilihat latar belakang yang menjadi sebab terjadinya kesemrawutan mengenai prosedur pembayaran jasa transportasi bus a.k.a tiket.
karcis bus antar kota, sumber : setia1heri.wordpress.com

Bus antarkota, memang tidak sama dengan kereta api. Bus antarkota utamanya kelas ekonomi dan sebagian patas, menaikkan dan menurunkan penumpangnya dimanapun selama itu dilalui dalam rute perjalanan bus bersangkutan. Untuk calon penumpang yang tinggal jauh dari terminal tapi dekat dengan jalur yang dilalui bus antar kota, kondisi ini jelas menguntungkan. Berbeda dengan kereta api, meskipun anda tinggal di tepi rel kereta api sekalipun, kalau ingin menggunakan jasa kereta api anda harus pergi ke stasiun terdekat, tidak mungkin anda menghentikan kereta api di depan rumah anda, kecuali rumah anda adalah stasiun kereta api, hahahaha... Belum lagi jumlah terminal bus antarkota yang jauh lebih sedikit daripada jumlah stasiun KA (jika dihitung kedua moda memiliki asal dan destinasi yang sama, contoh : silahkan dihitung jumlah terminal yang dilewati bus jurusan tulungagung-surabaya dan jumlah stasiun yang dilalui oleh KA dengan jurusan yang sama). Hal inilah yang membuat saya membuat hipotesis pribadi bahwa penerapan ticket online pada bus tidak semudah pada KA, belum lagi fakta bahwa operator KA masih dimonopoli oleh satu BUMN yang jelas berbeda jauh dengan bus antarkota yang 99% operatornya berasal dari pihak swasta. Mungkin kita bisa menjadikan busway sebagai referensi penerapan ticketing pada bus antar kota, tapi busway adalah moda yang dirancang dari nol, bukan melakukan rehabilitasi pada moda lama yang mengalami kesemrawutan. Kalau dipaksakan, bisa anda bayangkan bagaimana mengatur perjalanan bus dalam satu jalur busway ruas Surabaya-Kertosono.
 tiket KA Online, sumber : muhdhito.me
Melalui tulisan ini saya bukan sedang memposisikan sebagai seorang yang anti-Jonan atau bersikap menolak ide ticketing online secara absolut (secara pribadi saya adalah seseorang yang kagum dengan sosok Jonan, yang menurut saya adalah direktur KAI terhebat sepanjang sejarah perkeretapian Indonesia setelah kemerdekaan) . Ticket online bisa diterapkan pada bus antar kota, menurut saya pribadi, tapi secara terbatas. Yaitu terbatas pada bus antarkota antar propinsi non ekonomi atau Bus Malam. Kenapa bus malam? karena secara sistem bus malam sangat mirip dengan kereta api yang telah sukses melaksanakan ticketing online. Bus malam biasanya hanya menaikkan penumpang di agen-agen yang telah ditunjuk, sangat mirip kereta api yang hanya berhenti di stasiun saja. Bahkan bus malam punya nilai plus karena bisa menurunkan penumpang di tempat-tempat terdekat dengan tujuan penumpang sejauh diperkenankan oleh aturan. Bahkan penerapan ticketing online pada bus malam saya yakini mampu menekan secara maksimal jumlah penumpang gelap alias sarkawi. Kebocoran keuntungan yang dialami oleh perusahaan akan terkikis dalam jumlah yang signifikan. Load factor bus malam pun bisa terisi secara optimal, apabila sebelumnya menggunakan sistem jatah kursi untuk setiap agen, dengan sistem online dapat diset up kebutuhan kursi dan armada pada setaip hari operasional bus.
agen bus malam, sumber : tribunnews.com

Kendalanya? belum semua PO mempunyai agen yang merupakan kantor perwakilan resmi. Kecuali PO Rosalia Indah (cat : yang saya tau) kebanyakan adalah agen komisi yang memperoleh keuntungan dari persentase nilai penjualan tiket dan atau jumlah tiket yang dijual. Kenapa harus perwakilan resmi? karena ticketing online membutuhkan sarana prasarana yang tidak murah. Sebagian besar agen bus hanya bermodalkan meja, kursi dan alat tulis. Tidak ada sistem komputerisasi seperti agen penjualan tiket pesawat terbang atau kereta api. Dengan perwakilan resmi perusahaan bisa menginvestasikan asetnya dengan lancar, karena saya yakin PO pasti akan berfikir ulang untuk menyerahkan seperangkat media online untuk keperluan penjualan tiket kepada agen-agen komisi.
 Bus Malam, sumber :teguhalkhawarizmi.wordpress.com

Dengan segala kondisi, permasalahan, keuntungan dan kendala yang ada, penerapan ticketing online pada bus antar kota mungkin akan cukup membantu permasalahan yang dialami oleh penumpang, operator maupun aparat pemerintah. Tetapi perlu kajian teknis dan studi lapangan yang cermat dan teliti sebelum diterapkan. Pengaplikasian yang tergesa-gesa dan cenderung dipaksakan akan berdampak buruk bagi moda transportasi bus antar kota dan para pengguna jasanya. Operator dan pengelola prasarana moda transportasi bus antar kota memang tidak boleh kalah dengan Kereta Api, tetapi perlu diingat, bus bukanlah kereta api, dan untuk sesuatu yang berbeda perlu ditemukan aplikasi yang berbeda pula meski dalam tujuan yang sama demi kemajuan transportasi indonesia.

Saturday 26 September 2015

Mbok Nggak Usah......

Membaca Tulisan Kiai..eh budayawan yang satu ini emang menginspirasi...segala macam kritik dan pemikiran terhadap praktek dogmatik dan kondisi sosial masyarakat, mau tidak mau akan membawa kita kepada pemikiran yang berbeda, yang anti mainstream gituuu... hehehehe Seperti Tulisan beliau yang satu ini, yang saya kutip dari laman facebook berjudul "Mbok Nggak Usah Ada Neraka". Berikut isi lengkap tulisannya :

Setiap calon santri di padepokan Sang Sunan, di test dulu bagaimana ia membaca kalimat syahadat. Dan Saridin memiliki lafal dan caranya sendiri dalam bersyahadat. Suatu cara yang Gus Dur saja pasti tidak berani melakukannya, minimal karena badan Gus Dur terlalu subur — sementara Saridin adalah lelaki yang atletis dan seorang pendekar silat yang mumpuni.


sumber : ruangpustaka.blogspot.com

Tapi sebelum hal itu diceritakan, karena Saridin khawatir Anda kaget lantas darah tinggi Anda kambuh, maka harus diterangkan dulu beberapa hal mendasar yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan humor.

Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah maupun perlahan-lahan secara rasional memutuskan untuk melihat dan memperlakukan kehidupan ini sebagai sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh — namun ia menjalaninya dengan urat saraf yang santai dan dengan kesiapan humor yang setinggi-tingginya.



Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk hatinya, Saridin yakin bahwa Tuhan sendiri sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh humor….



Memang belum tentu benar, belum tentu baik dan arif, untuk menyebut bahwa Tuhan itu Maha (Peng- atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan watakNya, tidak terdapat nama Maha Humor. Tapi kalau misalnya di satu pihak Tuhan itu Maha Penyayang dan di lain pihak Ia Maha Penyiksa, atau di satu sisi Ia Maha Pengasih dan di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau di satu dimensi Ia Maha Penabur Rejeki tapi sekaligus pada dimensi lain Ia Maha Penahan Rejeki — terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu suatu jenis humor. Paling tidak supaya kepala kita tidak pusing.

Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan mengasihi atau menyiksa hamba-hambaNya menurut konteks dan posisi nilai yang memang relevan untuk itu. Tuhan mungkin mengasihi siapa saja meskipun mereka mbalelo kepadaNya: Tuhan tetap memelihara napas para maling, Tuhan tidak menyembunyikan matahari dari para perampok, Tuhan tidak menghapus ilmu dari otak para koruptor.



Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang patuh kepadaNya. Tuhan tidak mungkin menghukum orang yang tak punya kesalahan kepadaNya. Kalau Tuhan menahan rejeki orang yang taat kepadaNya, maka penahanan rejeki itu mungkin merupakan suatu jenis rejeki tertentu yang merupakan metoda agar orang tersebut menghayatinya dan memperoleh nilai yang lebih tinggi. Atau kalau seseorang yang baik kepada Tuhan tapi lantas diberi kemiskinan atau penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu di antara tiga kemungkinan.



Pertama, itu teguran. Alhamdulillah dong kalau Tuhan berkenan mengkritik kita. Itu artinya kita punya kans untuk menjadi lebih baik. Kedua, itu ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang yang disediakan kenaikan pangkat saja yang boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman. Ini lebih alhamdulillah lagi, karena manusia selalu membutuhkan pembersihan diri, memerlukan proses pensucian dan kelahiran kembali.



Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata pandang manusia, ide-ide penciptaan yang Ia paparkan pada alam semesta dan kehidupan, banyak sekali mengandung hal-hal yang kita rasakan sebagai “humor”.

Bukan hanya ketika kita melihat perilaku monyet, umpamanya — yang membuat Saridin berpikir: “Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang maha pencipta humor, atau sekurang-kurangnya pencipta monyet adalah Entertainer Agung bagi jiwa dahaga manusia….”



Soalnya kelakuan monyet ‘kan mirip-mirip Anda….

Juga Anda mengalami sendiri betapa banyaknya hal-hal yang lucu di muka bumi ini, bahkan juga mungkin di luar bumi. Saridin sendiri amat sering tertawa riang atau tertawa kecut kalau melihat atau mengalami kehendak-kehendak Tuhan tertentu. Umpamanya tatkala Adam tinggal di sorga, Tuhan sengaja bikin pohon Khuldi, tapi dilarangnya Adam menyentuh. Tapi pada saat yang sama, Ia ciptakan Iblis untuk menggoda agar Adam melanggar larangan itu — dan akhirnya terjadi benar.



Sehingga beliau beserta istri terlempar ke muka bumi, dan kita semua terpaksa menjumpai diri kita juga tidak lagi di sorga, melainkan di bumi.



Itupun bumi yang sudah dikapling-kapling oleh konsep adanya negara. Oleh adanya organisasi pemerintahan yang kerjanya memerintah dan melarang seperti Tuhan. Kalau Tuhan sih memang berhak seratus persen memerintah dan melarang karena memang Ia yang menciptakan kita dan semua alam ini, serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin hidup manusia.



Tapi pemerintah ‘kan nyuruh kita cari makan sendiri-sendiri. Kalau kita kelaparan atau dikubur hutang, kita tidak bisa mengeluh kepada pemerintah.

Hubungan kita dengan pemerintah hanya bahwa kita sebuah berada di bawah kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan lantas mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu. Semakin banyak di antara kita yang mati, secara tidak langsung program KB akan semakin sukses.



Soal ini memang tergolong paling lucu di dunia. Kalau di negara sosialis dulu, rakyat dijamin kesejahteraannya meskipun minimal, namun sama rata sama rasa — dengan catatan tidak boleh mbacot, tidak boleh membantah, alias tidak ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis, setiap orang memiliki hak bicara, hak ngumpul dan berserikat — tapi dengan syarat harus cari makan sendiri-sendiri, harus mandiri dan berani bersaing, berani jadi gelandangan kalau kalah.



Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri yang mengharmonisasikan dua keistimewaan dari negeri sosialis dan negeri kapitalis. Anda tidak usah banyak bicara, tak usah membantah, tak perlu protes-protes, karena toh makan dan kesejahteraan hidup Anda harus Anda jamin sendiri….



Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil, Majelis Ulama, ICMI, PCPP, YKPK, PNI-Baru maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa Anda beserta keluarga akan tidak sampai kelaparan.

Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada takdirnya yang menimpa kita, dan itu mungkin menyedihkan, demi supaya kita tetap survive secara psikologis — seringkali kita anggap saja itu semua adalah Humor dari yang Maha Kuasa.



Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau kita boleh bermanja kepada Tuhan, mbok ya biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan sebangsanya itu. Mbok ya langsung saja manusia yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini ditakdirkan saja untuk menghuni sorga, sehingga Tuhan tak usah juga bikin neraka.



Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses dalam menggoda Adam, lantas di dalam perkembangan dunia maupun pembangunan kebudayaan nasional — Setan dan Iblis malah mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi idola.

Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam mekanisme perekonomian dan dunia bisnis, dalam soal-soal pembebasan tanah, soal kebebasan asasi manusia dan lain sebagainya — Setan banyak menjadi wacana utama. Para penguasa tertentu dan pemegang modal besar tertentu, banyak memperlakukan Iblis sebagai mitra-kerja, dengan alasan: “Alah, wong Pak Adam saja juga kalah waktu digoda oleh blis kok….”



Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh Sunan Kudus untuk bersyahadat, memutuskan untuk menempuh suatu cara yang membuktikan bahwa ia bukan saja tidak takut melawan Iblis dan Setan — Saridin bahkan membuktikan bahwa ia tidak takut mati. Saridin membuktikan bahwa Saridin lebih besar dibanding kematian….

Demokrasi Tolol versi Saridin (Penerbit Zaituna, 1997)