Tersiarnya kabar penutupan pabrik Toshiba dan Panasonic di
Indonesia beberapa waktu lalu membuat artikel yang pernah ditulis oleh Bung
Yodhia Antariksa di blognya strategimanajemen pada tanggal 3 September 2012
dengan judul "The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
Toshiba, dan Sanyo" menjadi populer.
Begitu populernya banyak orang bahkan
menjadi lupa kalau tulisan itu sudah berumur lebih dari 3 tahun. Meski pada
akhirnya artikel terebut mengundang banyak pro kontra di berbagai kalangan,
saya pribadi setuju dengan analisa sebab akibat yang diutarakan penulis.
Terlepas dari keakuratan data dan unsur subjektifitas yang dicurigai oleh
beberapa orang yang tidak sependapat dengannya, 3 kondisi yang dianggap sebagai
pemicu keruntuhan industri elektronik Jepang tersebut sebenarnya menjadi
sesuatu yang patut diwaspadai. Ketiga kondisi terebut, Harmony Culture Error,
Seniority Error, dan Old Nation Error kalaupun diragukan telah mampu
menjatuhkan industri elektronika jepang, sesungguhnya bisa menghancurkan sistem
birokrasi suatu negara, seperti Indonesia.
Harmony Culture Error, dalam harmony
culture error Yodhia Antariksa menganggap kondisi ini menyebabkan manajemen
perusahaan elektronik jepang menjadi lamban dalam mengambil keputusan.
Bayangkan bila kondisi ini terjadi pada sistem birokrasi kita, sistem birokrasi
yang lamban dalam bertindak adalah malapetaka bagi masyarakat. Yang terjadi
adalah birokrasi yang "hanya" akan bertindak bila suatu kejadian
telah terjadi, bukan berupaya mengantisipasi terjadinya suatu permasalahan.
Memang tidak semua permasalahan bisa diprediksi sebelumnya, akan tetapi banyak
permasalahan yang bisa diprediksi dan dicegah dampak buruk yang akan
ditimbulkannya.
Di Indonesia, kondisi ini juga sering ditemui dalam pelaksanaan
pembangunan. Proses pembangunan di Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 diawali melalui kegiatan musrenbang yang dilaksanakan pada triwulan
pertama pada 1 tahun sebelum tahun anggaran pelaksanaan pembangunan. Jadi untuk
tahun anggaran 2016, pelaksanaan musrenbang dilakukan pada bulan Januari-Maret
Tahun 2015! Bagi masyarakat yang awam terhadap proses administrasi
pemerintahan, sudah pasti mereka akan mengatakan kinerja pemerintah sangat
sangat lambat.
Belum lagi jika dihadapkan pada fakta bahwa hasil musrenbang
tentunya tidak mampu mengakomodir kondisi terkini yang terjadi pada akhir tahun
menjelang pelaksanaan hasil musrenbang. Misalnya, jika terjadi jembatan putus
pada bulan Desember 2015, jembatan permanen baru bisa dibangun pada Tahun 2017
atau paling cepat pada perubahan anggaran 2016, itupun dengan kondisi
ketersediaan dana yang tidak sebanyak pada awal tahun anggaran.
Seniority
Error, menurut yodha antariksa, "Dalam era digital, inovasi adalah
oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi
ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta
budaya sungkan pada atasan. Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang
memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti
Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never.
Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.
Promosi di hampir
semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti
didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas
pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun
adalah kelaziman. Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya,
dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah
layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati."
Bagaimana jika kondisi
ini terjadi di birokrasi Indonesia? hasilnya sama saja, kematian inovasi. Dan
birokrasi tanpa inovasi adalah birokrasi yang kuno, yang hanya menjadi beban
negara dan menghambat kemajuan suatu bangsa. Bagaimana mungkin suatu pemerintah
mampu memerintah rakyatnya jikalau mereka sendiri kalah maju, kalah canggih
dibanding rakyatnya sendiri. Kondisi demikian bisa terjadi di Indonesia,
mengingat senioritas adalah sesuatu yang terus dipelihara eksistensinya dalam
sistem birokrasi kita.
Sama seperti artikel bung Yodha Antariksa, di birokrasi
Indonesia sistem promosi masih menggunakan sistem karier, yang berarti pangkat
dan golongan, dan masa kerja adalah pertimbangan utama dalam promosi pegawai.
Daftar urut Kepangkatan tetap menjadu acuan utama dalam menentukan promosi.
Bahkan di beberapa instansi masih memberikan "prioritas" kepada sisi
loyalitas semu daripada kompetensi untuk pemberian promosi pegawai (dalam
pandangan saya, loyalitas memang syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang
birokrat, akan tetapi loyalitas disini adalah loyalitas kepada negara dan
pemerintah, bukan loyalitas semu yang ditujukan kepada individu tertentu, misal
atasannya).
Old Nation Error, mungkin dari ketiga faktor yang ada, faktor ini
adalah yang faktor mungkin masih belum terjadi di Indonesia dalam waktu dekat.
Jumlah penduduk yang tinggi, angka kelahiran yang tidak pernah menurun tentu
berbeda dengan kondisi yang terjadi di Jepang. Bahkan Pemerintah mencanangkan
slogan "Generasi Emas 2045" sebagai dampak dari adanya bonus
demografi. Akan tetapi hal ini akan menjadi kabar buruk, jika banyak generasi
muda yang enggan berpartisipasi dalam pemerintahan. Ataupun mereka yang
sebenarnya berkualitas tetapi tidak "diijinkan" ikut andil dalam
pemerintahan karena faktor "X". Sikap apatis generasi muda terhadap
negara dan pemerintahnnya menjadi dampak yang harus ditanggung oleh kita semua.
Jika hal tersebut terjadi, maka old nation error akan benar-benar terjadi
justru saat kita menyongsong datangnya generasi emas.
Data dasar artikel Yodha
Antariksa memang tetap menjadi sesuatu yang kontroversial, tetapi analisanya
terhadap tiga faktor yang menjadi penyebab keruntuhan suatu organisasi adalah
nyata. Kalaupun kebenaran dari data yang disampaikan yang bersangkutan kurang
tepat, setidaknya apa yang ditulis oleh beliau bisa menjadi peringatan dan
pembelajaran bagi kita semua. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kemajuan
masyarakatnya, akan tetapi kemajuan masyarakat tidak akan berdampak apapun jika
pemerintah dan seluruh aparatnya tidak mampu memajukan dirinya sendiri.
Artikel ini saya terbitkan pertama kali pada
http://www.kompasiana.com/alfian_r/menjadikan-the-death-of-samurai-sebagai-pembelajaran_56c18989f47a61341e8d3ae7