Monday 29 February 2016

Menjadikan "The Death of Samurai" Sebagai Pembelajaran





Tersiarnya kabar penutupan pabrik Toshiba dan Panasonic di Indonesia beberapa waktu lalu membuat artikel yang pernah ditulis oleh Bung Yodhia Antariksa di blognya strategimanajemen pada tanggal 3 September 2012 dengan judul "The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba, dan Sanyo" menjadi populer. 

Begitu populernya banyak orang bahkan menjadi lupa kalau tulisan itu sudah berumur lebih dari 3 tahun. Meski pada akhirnya artikel terebut mengundang banyak pro kontra di berbagai kalangan, saya pribadi setuju dengan analisa sebab akibat yang diutarakan penulis. Terlepas dari keakuratan data dan unsur subjektifitas yang dicurigai oleh beberapa orang yang tidak sependapat dengannya, 3 kondisi yang dianggap sebagai pemicu keruntuhan industri elektronik Jepang tersebut sebenarnya menjadi sesuatu yang patut diwaspadai. Ketiga kondisi terebut, Harmony Culture Error, Seniority Error, dan Old Nation Error kalaupun diragukan telah mampu menjatuhkan industri elektronika jepang, sesungguhnya bisa menghancurkan sistem birokrasi suatu negara, seperti Indonesia. 

Harmony Culture Error, dalam harmony culture error Yodhia Antariksa menganggap kondisi ini menyebabkan manajemen perusahaan elektronik jepang menjadi lamban dalam mengambil keputusan. Bayangkan bila kondisi ini terjadi pada sistem birokrasi kita, sistem birokrasi yang lamban dalam bertindak adalah malapetaka bagi masyarakat. Yang terjadi adalah birokrasi yang "hanya" akan bertindak bila suatu kejadian telah terjadi, bukan berupaya mengantisipasi terjadinya suatu permasalahan. Memang tidak semua permasalahan bisa diprediksi sebelumnya, akan tetapi banyak permasalahan yang bisa diprediksi dan dicegah dampak buruk yang akan ditimbulkannya. 

Di Indonesia, kondisi ini juga sering ditemui dalam pelaksanaan pembangunan. Proses pembangunan di Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 diawali melalui kegiatan musrenbang yang dilaksanakan pada triwulan pertama pada 1 tahun sebelum tahun anggaran pelaksanaan pembangunan. Jadi untuk tahun anggaran 2016, pelaksanaan musrenbang dilakukan pada bulan Januari-Maret Tahun 2015! Bagi masyarakat yang awam terhadap proses administrasi pemerintahan, sudah pasti mereka akan mengatakan kinerja pemerintah sangat sangat lambat. 

Belum lagi jika dihadapkan pada fakta bahwa hasil musrenbang tentunya tidak mampu mengakomodir kondisi terkini yang terjadi pada akhir tahun menjelang pelaksanaan hasil musrenbang. Misalnya, jika terjadi jembatan putus pada bulan Desember 2015, jembatan permanen baru bisa dibangun pada Tahun 2017 atau paling cepat pada perubahan anggaran 2016, itupun dengan kondisi ketersediaan dana yang tidak sebanyak pada awal tahun anggaran. 

Seniority Error, menurut yodha antariksa, "Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan. Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan. 

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman. Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati." 

Bagaimana jika kondisi ini terjadi di birokrasi Indonesia? hasilnya sama saja, kematian inovasi. Dan birokrasi tanpa inovasi adalah birokrasi yang kuno, yang hanya menjadi beban negara dan menghambat kemajuan suatu bangsa. Bagaimana mungkin suatu pemerintah mampu memerintah rakyatnya jikalau mereka sendiri kalah maju, kalah canggih dibanding rakyatnya sendiri. Kondisi demikian bisa terjadi di Indonesia, mengingat senioritas adalah sesuatu yang terus dipelihara eksistensinya dalam sistem birokrasi kita. 

Sama seperti artikel bung Yodha Antariksa, di birokrasi Indonesia sistem promosi masih menggunakan sistem karier, yang berarti pangkat dan golongan, dan masa kerja adalah pertimbangan utama dalam promosi pegawai. Daftar urut Kepangkatan tetap menjadu acuan utama dalam menentukan promosi. Bahkan di beberapa instansi masih memberikan "prioritas" kepada sisi loyalitas semu daripada kompetensi untuk pemberian promosi pegawai (dalam pandangan saya, loyalitas memang syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang birokrat, akan tetapi loyalitas disini adalah loyalitas kepada negara dan pemerintah, bukan loyalitas semu yang ditujukan kepada individu tertentu, misal atasannya). 

Old Nation Error, mungkin dari ketiga faktor yang ada, faktor ini adalah yang faktor mungkin masih belum terjadi di Indonesia dalam waktu dekat. Jumlah penduduk yang tinggi, angka kelahiran yang tidak pernah menurun tentu berbeda dengan kondisi yang terjadi di Jepang. Bahkan Pemerintah mencanangkan slogan "Generasi Emas 2045" sebagai dampak dari adanya bonus demografi. Akan tetapi hal ini akan menjadi kabar buruk, jika banyak generasi muda yang enggan berpartisipasi dalam pemerintahan. Ataupun mereka yang sebenarnya berkualitas tetapi tidak "diijinkan" ikut andil dalam pemerintahan karena faktor "X". Sikap apatis generasi muda terhadap negara dan pemerintahnnya menjadi dampak yang harus ditanggung oleh kita semua. Jika hal tersebut terjadi, maka old nation error akan benar-benar terjadi justru saat kita menyongsong datangnya generasi emas. 

Data dasar artikel Yodha Antariksa memang tetap menjadi sesuatu yang kontroversial, tetapi analisanya terhadap tiga faktor yang menjadi penyebab keruntuhan suatu organisasi adalah nyata. Kalaupun kebenaran dari data yang disampaikan yang bersangkutan kurang tepat, setidaknya apa yang ditulis oleh beliau bisa menjadi peringatan dan pembelajaran bagi kita semua. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kemajuan masyarakatnya, akan tetapi kemajuan masyarakat tidak akan berdampak apapun jika pemerintah dan seluruh aparatnya tidak mampu memajukan dirinya sendiri.


Artikel ini saya terbitkan pertama kali pada http://www.kompasiana.com/alfian_r/menjadikan-the-death-of-samurai-sebagai-pembelajaran_56c18989f47a61341e8d3ae7